Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 2014

Bengawan Sore #8

"Nduk, ada apa to sebenarnya? Pulanglah ke rumah suamimu.", kata ibu mengusap pelipisku. Sungguh aku tak tau kemana lagi tempat berlari selain sepasang kaki hangat yang tak pernah lelah menerima keluhku. Aku hanya menghela nafas dan menerawangkan ingatan pada dini hari dua hari lalu. Mas Gara pulang dengan bau pekat minuman keras. Aku tundukkan kepalaku ketika membukakan pintu. Sejak hari dimana Mas Gara mengetahui kebenaran soal Tian, nyaliku seperti ditelannya bulat-bulat. Lalu sering timbul keributan hanya karena ketidak nyamanan sederhana. Mungkin ini wujud kekecewaan Mas Gara terhadapku. Walau begitu dia tak pernah berani menyakiti Tian. Malam itu tidak ada makanan tersisa dirumah. Tamparan keras mendarat di wajahku. Dengan tangis tak terbendung, kugandeng Tian yang setengah sadar dari tidur menuju rumah ibu.  Berkali-kali ibu membujukku untuk pulang dan menyelesaikan pertikaian yang tak dia ketahui penyebabnya. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu depan. Mas Gara

Wanitamu (setelah aku)

Apa bisa disebut cinta? Jika jalinannya hidup dari kepedihan orang lain? Bagaimana dengan perselingkuhan? Jika hanya nafsu, tidak bisakah diselesaikan dalam sekali jumpa saja? Mengapa jadi palung sampai berhari-hari? Malam itu aku mengundang Sarah, teman dekatku untuk makan malam di rumah. Sekedar jamuan ulang tahun pernikahan keempat. Dengan tas bermerk, sepatu mengkilap, dan gaun mini karya perancang ternama, Sarah melenggang menuju meja makan. Suamiku menunduk tanpa dapat menutupi kekaguman pada tubuh indah di depan kami. Sementara aku, dengan daster gombrong yang sengaja ku kenakan mempersilahkannya menikmati hidangan. Seketika wajah suamiku memerah, matanya melotot, dan urat lehernya menonjol. Dia coba muntahkan sesuatu yang baru saja dia telan. "Kamu nggak tau Mas Rama alergi udang?". Sarah panik membopong suamiku. "Apa kamu fikir aku tidak mempedulikan suamiku, sampai dia harus mencari dari perempuan lain?", kataku tersenyum. Aku meletakkan

Koper Tak Berisi

Hallo perempuan-perempuan yang menjinjing tas mahal, melenggang dengan sepatu mengkilap, dan keluar masuk pertokoan. Disini ada aku, dengan daster dan peluh tanpa sanggup mengeluh. Yang setiap nafasnya hanya untuk mengabdi pada suami.  Dini hari tadi, suamiku pulang dengan bau pekat minuman. Mungkin menang tender, atau bertemu kawan lama. Entah hanya kawan, atau beberapa perempuan seperti bisikan beberapa orang. Kalau aku bertanya, tubuhku akan memar setelahnya. Suamiku, nanti, kalau kamu sudah berlalu dari perempuan-perempuan penjaja rayu itu, pulanglah. Ada aku dirumah yang menunggumu dengan mata basah. Apalagi yang bisa kuberi, bukan paras, bukan body berkelas. Hanya rahim yang kujaga sepenuh hati Untuk setiap makian dan luka tamparan yang masih linu, aku berserah. Karena saat ini, aku belum mampu pergi. Tidak dengan meninggalkan buah hatiku di sini. Namun aku tak punya daya untuk membawanya serta. Sejak itu aku bekerja. Sejauh yang aku mampu untuk mengisi tabungan, mu

Semalam Bersama Mirrors

Takdir sedang menggelitikiku, saat aku tertawa karena kebetulan tentang kita. Kebetulan yang membuat kita merasa dua orang yang disatukan kesamaan. Lalu menggoda untuk salah satu dari kita tersenyum sendiri saat membaca pesan, atau tersipu ketika mengingat hal menyenangkan. Malam itu di kafe. Di antara dua cangkir cokelat, kepulan rokok kita beradu. Layaknya tawa renyah malu-malu, dan aku yang kadang tersipu. Kamu lebih manis dari yang aku bayangkan. Bukan rupa, tapi hangat yang mungkin di rongga dadaku saja yang bisa merasa. Bagaimana ini, sepertinya cupid cupid sialan itu sudah berhasil mengenai sasarannya. Aku kalah dari dalam, dari hati yang sudah kamu sapa duluan. Kamu melangkah ke tengah ruangan. Duduk bersama pemain alat musik dan menghela nafas perlahan. Diantara alunan Mirrors yang kamu lantunkan, ada aku, di meja nomor 16 yang tak kuasa mengalihkan pandangan. Cause I don't wanna lose you now I'm lookin' right at the other half of me The v

Lelaki Berpayung dan Perempuan Hujan

Selamat malam tuan berpayung yang mungkin semakin jauh ............................... Diantara hujan aku menari. Dengan gaun hitam yang sudah basah kuyup sedari tadi. Hujan disini tak pernah reda, entah dimana si muara. Tapi selalu jatuh lalu hilang ujung alirannya. Di pinggir trotoar, ada kamu berdiri, tuan berpayung yang senyumnya tak pernah gagal membuatku jatuh hati setiap hari. Selalu, kamu menikmati tarianku dan aku akan dengan senang hati memberi bersama hujanku. Lalu suatu hari kamu melangkah mundur. Takut baju putihmu ternodai. Sedangkan aku kadung tak dapat berhenti. Hingga kita semakin jauh menepi.  “Harusnya aku tak terlanjur menyukai tarianmu.” “Harusnya aku pun tak terlanjur menari untukmu.” Kemudian kita menangis berdua.  Mungkin suatu hari, aku akan benar-benar lelah menari, atau kamu yang kedinginan di bawah hujan dan memutuskan benar-benar pergi.  Karena kita tak akan pernah sampai hati, untukku mengajakmu men

Hangat dalam Gulita, Dingin dalam Nyata

Hening,   lalu pukul 19.31 deru mobil terdengar dari halaman depan. Dari seberang kaca terlihat bapak tua dengan peralatan kerja yang dia bawa. Begitu dia lenyap masuk rumah, kemudian seisinya hening lagi. Beruntung malam ini tidak ada amarah dari si bapak. Biasanya lelah membuatnya mudah tersulut emosi. Di dalam kamar ujung lantai dua, si sulung sedang menarikan jari diantara tombol-tombol alfabet. Matanya tak lepas dari kursor berkedip di layar menyala. Ada hal yang membuat dia sibuk beberapa bulan ini, yang dia sebut skripsi.  Sesekali dia buat gerakan mematahkan kepala atau membenarkan posisi duduknya. Begitu terus, sampai jarum panjang di dinding memutar beberapa kali. Dari dalam kamar, keluar seorang wanita berdaster, berjalan menuju dapur, menyiapkan beberapa piring seisinya, lalu mempersilahkan si bapak tua makan. Dia kembali menuju kamar melanjutkan melipat beberapa cucian yang sudah kering dari sore tadi. Sesekali dia usap kening berkerutnya, sambil menghe

Perempuan dalam Kamar

"Mas, bangun. Jam piro iki.". Sirine macam apa itu yang mampu membuat jiwaku yang sedang melayang-layang langsung kembali ke peraduannya. Oh, rupanya suara ibuku. Sudah pukul setengah tujuh pagi. Entah berapa jam bersama perempuan itu, sampai aku dibuatnya menyerah. Mataku berat, tapi cukup dapat melihat celanaku sudah basah. Lalu aku bangkit dan menuju kamar mandi. Menyirami sisa-sisa peluh bekas gulatan tadi malam. Di kantor sebelum jam makan siang. Ketika melewati lobi, aku melirik ke lekuk wajah perempuan di belakang meja kerjany. Entah menyadari lemparan pandanganku atau memang dia juga ingin menatapku, sedetik kemudian mata kami beradu. Dia tersenyum manis, sangat manis, seperti senyum yang aku lihat dalam cumbuan itu. Aku melangkah mendekat, sembari mengingat isi dompet yang mungkin cukup untuk mengajaknya makan siang bersama. Tinggal beberapa meter, tapi sialnya... "Ayo kita makan.". Rekan kerjaku mengecup mesra keningnya. Mereka bangkit, melengga