"Nduk, ada apa to sebenarnya? Pulanglah ke rumah suamimu.", kata ibu mengusap pelipisku.
Sungguh aku tak tau kemana lagi tempat berlari selain sepasang kaki hangat yang tak pernah lelah menerima keluhku. Aku hanya menghela nafas dan menerawangkan ingatan pada dini hari dua hari lalu. Mas Gara pulang dengan bau pekat minuman keras. Aku tundukkan kepalaku ketika membukakan pintu. Sejak hari dimana Mas Gara mengetahui kebenaran soal Tian, nyaliku seperti ditelannya bulat-bulat. Lalu sering timbul keributan hanya karena ketidak nyamanan sederhana. Mungkin ini wujud kekecewaan Mas Gara terhadapku. Walau begitu dia tak pernah berani menyakiti Tian. Malam itu tidak ada makanan tersisa dirumah. Tamparan keras mendarat di wajahku. Dengan tangis tak terbendung, kugandeng Tian yang setengah sadar dari tidur menuju rumah ibu.
Berkali-kali ibu membujukku untuk pulang dan menyelesaikan pertikaian yang tak dia ketahui penyebabnya. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu depan. Mas Gara berdiri dengan raut muka datar.
"Ayo pulang, malu karo ibu.". Dia raih tanganku keluar.
Beberapa saat kami beradu mulut pelan, sampai Mas Gara mencengkerang tanganku.
"Buat apa aku pulang, kalau mas saja belum bisa menerima kehadiranku dan Tian.", aku mencoba menekan nada suaraku agar tak terdengar dari dalam.
"Aku nrimo kalian, dek. Tapi tidak dengan kebohonganmu. Dika kui temanku, bertahun-tahun kalian selingkuh, sampai menutupi kalau Tian bukan darah dagingku.".
Tanpa kami sadari seseorang hendak melenggang melewati pintu depan. Kalimat terakhir Mas Gara seolah mencekiknya. Matanya memandangku tak percaya. Dia pegangi dada kirinya. Seketika aku berteriak dan mendekati tubuhnya yang sudah tersungkur ke tanah.
"Bapaaak......",
..........tangisku pecah.
Itu kali terakhir aku melihat bapak memandangku. Seperti belati yang tak bisa terlepas dari hunusannya, sampai detik ini aku belum bisa memaafkan diriku atas kepergian Bapak. Kadang bukan hanya mata tempat tangisan itu berasal, hatiku meronta. Di pusaranya aku terisak. Kalaupun sudah waktunya bapak pergi, setidaknya tidak dengan cara tragis karena kekecewaannya terhadapku.
Sepanjang sesi pemakaman, aku tak melihat Mas Dika. Mungkin kesibukannya di seberang benua tak bisa ditinggalkan. Dia hanya sempat menelfon beberapa jam kemudian. Aku lupa tentang percakapan kami. Sesenggukan membuatku tak dapat menerima dengan jelas apa yang aku dengar. Tepat 100 hari selepas kepergian Bapak, aku putuskan bercerai dengan Mas Gara. Dihari saat hak asuh Tian jatuh padaku, aku berangkat ke Jakarta. Mencari nafkah untuk melanjutkan hidupku dengan Tian yang kutitipkan pada ibu. Entah terbuat dari apa hati ibu yang selalu sudi merenggangkan tangan ketika kita dalam keterpurukan dan butuh pelukan.
Jika duri yang terlanjur aku injak membuat sayatan, akan kulepaskan dan mulai berjalan pelan. Aku jalani hidup baruku di ibu kota. Dengan rasa bersalah yang kadang membuat resah, keluh yang hanya bisa tersalur dalam peluh, dan rindu yang terlampau ngilu. Hingga aku biarkan semuanya perlahan pudar.... dalam nanar.
Comments
Post a Comment