Skip to main content

Bengawan Sore #8

"Nduk, ada apa to sebenarnya? Pulanglah ke rumah suamimu.", kata ibu mengusap pelipisku.

Sungguh aku tak tau kemana lagi tempat berlari selain sepasang kaki hangat yang tak pernah lelah menerima keluhku. Aku hanya menghela nafas dan menerawangkan ingatan pada dini hari dua hari lalu. Mas Gara pulang dengan bau pekat minuman keras. Aku tundukkan kepalaku ketika membukakan pintu. Sejak hari dimana Mas Gara mengetahui kebenaran soal Tian, nyaliku seperti ditelannya bulat-bulat. Lalu sering timbul keributan hanya karena ketidak nyamanan sederhana. Mungkin ini wujud kekecewaan Mas Gara terhadapku. Walau begitu dia tak pernah berani menyakiti Tian. Malam itu tidak ada makanan tersisa dirumah. Tamparan keras mendarat di wajahku. Dengan tangis tak terbendung, kugandeng Tian yang setengah sadar dari tidur menuju rumah ibu. 

Berkali-kali ibu membujukku untuk pulang dan menyelesaikan pertikaian yang tak dia ketahui penyebabnya. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu depan. Mas Gara berdiri dengan raut muka datar.

"Ayo pulang, malu karo ibu.". Dia raih tanganku keluar.
Beberapa saat kami beradu mulut pelan, sampai Mas Gara mencengkerang tanganku.
"Buat apa aku pulang, kalau mas saja belum bisa menerima kehadiranku dan Tian.", aku mencoba menekan nada suaraku agar tak terdengar dari dalam.
"Aku nrimo kalian, dek. Tapi tidak dengan kebohonganmu. Dika kui temanku, bertahun-tahun kalian selingkuh, sampai menutupi kalau Tian bukan darah dagingku.".

Tanpa kami sadari seseorang hendak melenggang melewati pintu depan. Kalimat terakhir Mas Gara seolah mencekiknya. Matanya memandangku tak percaya. Dia pegangi dada kirinya. Seketika aku berteriak dan mendekati tubuhnya yang sudah tersungkur ke tanah.

"Bapaaak......", 

..........tangisku pecah.

Itu kali terakhir aku melihat bapak memandangku. Seperti belati yang tak bisa terlepas dari hunusannya, sampai detik ini aku belum bisa memaafkan diriku atas kepergian Bapak. Kadang bukan hanya mata tempat tangisan itu berasal, hatiku meronta. Di pusaranya aku terisak. Kalaupun sudah waktunya bapak pergi, setidaknya tidak dengan cara tragis karena kekecewaannya terhadapku.

Sepanjang sesi pemakaman, aku tak melihat Mas Dika. Mungkin kesibukannya di seberang benua tak bisa ditinggalkan. Dia hanya sempat menelfon beberapa jam kemudian. Aku lupa tentang percakapan kami. Sesenggukan membuatku tak dapat menerima dengan jelas apa yang aku dengar. Tepat 100 hari selepas kepergian Bapak, aku putuskan bercerai dengan Mas Gara. Dihari  saat hak asuh Tian jatuh padaku, aku berangkat ke Jakarta. Mencari nafkah untuk melanjutkan hidupku dengan Tian yang kutitipkan pada ibu. Entah terbuat dari apa hati ibu yang selalu sudi merenggangkan tangan ketika kita dalam keterpurukan dan butuh pelukan.

Jika duri yang terlanjur aku injak membuat sayatan, akan kulepaskan dan mulai berjalan pelan. Aku jalani hidup baruku di ibu kota. Dengan rasa bersalah yang kadang membuat resah, keluh yang hanya bisa tersalur dalam peluh, dan rindu yang terlampau ngilu. Hingga aku biarkan semuanya perlahan pudar.... dalam nanar.

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Perempuan dalam Kamar

"Mas, bangun. Jam piro iki.". Sirine macam apa itu yang mampu membuat jiwaku yang sedang melayang-layang langsung kembali ke peraduannya. Oh, rupanya suara ibuku. Sudah pukul setengah tujuh pagi. Entah berapa jam bersama perempuan itu, sampai aku dibuatnya menyerah. Mataku berat, tapi cukup dapat melihat celanaku sudah basah. Lalu aku bangkit dan menuju kamar mandi. Menyirami sisa-sisa peluh bekas gulatan tadi malam. Di kantor sebelum jam makan siang. Ketika melewati lobi, aku melirik ke lekuk wajah perempuan di belakang meja kerjany. Entah menyadari lemparan pandanganku atau memang dia juga ingin menatapku, sedetik kemudian mata kami beradu. Dia tersenyum manis, sangat manis, seperti senyum yang aku lihat dalam cumbuan itu. Aku melangkah mendekat, sembari mengingat isi dompet yang mungkin cukup untuk mengajaknya makan siang bersama. Tinggal beberapa meter, tapi sialnya... "Ayo kita makan.". Rekan kerjaku mengecup mesra keningnya. Mereka bangkit, melengga...

100 Hari Tanda Orang Mau Meninggal

Innalillahi wa innailaihi rojiun, datang dari Allah dan selalu kembali kepada-Nya, semoga kita selalu menjadi orang-orang yang selalu mengingat-Nya dan beruntung serta saling mengingatkan. Tanda 100 hari mau meninggal…. Ini adalah tanda pertama dari Allah kepada hamba-Nya dan hanya akan disadari oleh mereka yang dikehendaki-Nya. Walau bagaimanapun semua orang Islam akan mendapatkan tanda ini, mereka ada yang sadar dan ada yang tidak. Tanda ini akan berlaku lazimnya sholat Ashar. Seluruh tubuh yaitu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki akan mengalami getaran atau seakan-akan menggigil. Contohnya seperti daging lembu yang baru disembelih dimana jika diperhatikan dengan teliti. Kita akan mendapati daging tersebut seakan-akan bergetar. Tanda ini rasanya lezat dan bagi mereka yang sadar dan berdetik dihati bahwa mungkin ini adalah tanda mati, maka getaran ini akan berhenti dan hilang setelah kita sadar akan kehadiran tanda ini. Bagi mereka yang tidak diberi kesadaran atau merek...