Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2014

Suamiku dan Dengkuran Menjengkelkannya

Aku mencium wajah pucat pasi itu sebelum kafannya dibenahi dan petinya ditutup. Mataku buram tertutup genangan air yang sekarang sudah luber di kedua pipi. Tangisku jatuh. Bahkan terlalu deras tanpa suara sedikitpun. Dadaku sesak. Tuhan, secepat inikah? .............................. “Ya ampun mas..”. Aku terbangun dari tidur. Benda bulat di dinding itu masih menunjuk pukul 3 pagi. Baru dua jam aku mencumbu alam mimpi. Tiba-tiba... Grrrruuuk..... grrrruukkk Kehidupan sedang menjahiliku. Ujian konyol rumah tangga yang hampir membuatku gila. Tiap malam aku digelitik oleh suara dengkurang suamiku. Namun aku tak pernah berani mengusik. Ya, aku selalu lemah menatap dia yang sedang tidur dengan wajah polosnya. Kelelahan, mendengkur. Flu, mendengkur. Saking lelapnya, mendengkur. Bahkan dalam keadaan masih berkeringat seusai kami... ya.. dia pun mendengkur. Entah dengan cara apa aku menghilangkan dengkurannya. Sampai-sampai aku memilih tidur bersama putriku di s

Yang belum terselesaikan...

"Kamu milikku...". Aku mendekap dia tanpa cela. Seolah tak membiarkan dinginnya hembusan air conditioner merasuk diantara degup jantung kami yang beradu. Perlahan memuai sang resah, seiring bibirku yang mulai dia buat basah. Dia sedikit terengah, aku pun. Bukan karena cumbuannya, melainkan tatapan wanita berbaju putih dan berambut panjang yang melayang di dekat pintu sana. Lenguhan terakhir dan beberapa saat kemudian dia terlelap dengan aku didekapannya. Kubiarkan setiap malam sprei kami basah. Agar wanita itu tau betapa lelaki ini menginginkan bersamaku dan telah memilikiku. Agar wanita itu menyerah untuk menunggui ruh lelakiku tak kembali dari mimpinya. Sering saat aku terbangun di tengah malam, aku melihat wanita itu menggelitik lelakiku. Dan lelakiku tersenyum sampai keesokan paginya celananya basah. "Kamu sakit? Akhir-akhir ini kamu pucat.", kata lelakiku masih dengan handuk yang melingkar di perutnya. Wanita itu lagi... mengekor lelakiku dari dalam kama

Bengawan Sore #6

“Dek, aku pamit ya.”, ucap Mas Dika sebelum kami sama-sama meninggalkan kamar hotel. Dia menatapku dalam. Aku hanya diam. Bias-bias lampu kamar terlihat mulai kabur tertutupi genangan air di sudut mataku. Kelopaknya tak kuasa lagi membendung hingga butir-butir tangis jatuh bebas tanpa bisa aku tahan. Aku mendekap Mas Dika Erat. Rasanya sama saat kamu hendak pergi dulu, Mas. Apa harus aku melepasmu lagi? Apa bisa aku membuatmu bertahan kalau kamu saja sudah yakin untuk pergi?  “Wes to, jangan nangis terus. Nanti matanya bengkak, jelek lho.”. Mas Dika mengusap pipiku perlahan. Dia tersenyum tulus tanpa melepas genggaman jemarinya dari tanganku. Diantara pelukan terakhir itu, aku menghembuskan nafas panjang. Berharap apa yang kurasa terlalu berat untuk dijalani bisa memuai bersama udara malam yang mulai dingin. Berakhir pada satu kecupan hangat dan kami pun melangkah keluar. Malam berikutnya. Aku menatap kosong langit-langit kamar. Suara guyuran air terdengar da

Pamit Pergi tak untuk Pamit Pulang

“Ya Tuhan, tugas ini benar-benar membuatku gila.”. Ivy mengacak-acak rambut yang memang sudah berantakan di kepalanya. Kedipan kursos di layar seperti melumpuhkan kerja otaknya beberapa saat. Dua puluh menit diam lalu dia bangkit dan meraih kunci motor di atas meja. Tanpa menghirukan ponsel, Ivy meraih selembar uang lima puluh ribuan dari dalam dompet cokelatnya. Dia sisipkan uang itu ke dalam saku celana pendek lalu melenggang keluar. Terdengar langkah kaki pelan dari dalam rumah. Seorang wanita dengan daster gombrongnya setengah berteriak, “Nduk, mau kemana?”, namun tertelan oleh deru motor Ivy yang sudah hampir hilang di ujung tikungan. Ivy anak jalanan. Bukan. Dia tidak tinggal atau hidup di jalanan. Melainkan dia suka menghabiskan waktu di jalanan. Mengendarai motornya berkeliling kota sendirian. Menikmati angin dan hanya membawa selembar uang di kantong celana.  Matahari sudah dari dua jam yang lalu kembali ke peraduannya. Ivy baru saja memasuki pekarangan rumah. De

Kelambu Diri

“Aaarrgh.”. Mala mengerang ketika handuk hangat itu menyentuh permukaan kulit pipi kirinya. Mukanya memerah menahan nyeri akibat cetakan tangan seorang laki-laki. Sakit. Iya. Bukan hanya tubuhnya yang linu, tapi hatinya sudah meranggas mendapati kekasihnya kini sudah tak semanis janjinya dulu. Malam kemarin... Odi memarkirkan motornya di depan rumah kos Mala. Wajahnya masih bersemu. Dengan kotak berwarna merah maroon yang dia genggam erat, dia melangkah yakin. Tiga ketukan cukup membawa Mala sudah berada di depannya dengan pintu terbuka. Lalu Odi bersimpuh, meminta Mala untuk menemaninya hingga seterusnya. Mala tersenyum namun tatapannya ragu. Dia hanya menyuruh Odi berdiri tanpa sempat mengangguk sebelumnya. Lalu siang hari tadi. Detak jantung mereka memburu beriringan. Odi melumat bibir Mala dengan lembutnya. Tinggal satu kain ditanggalkan, tapi Mala tiba-tiba melepaskan pelukannya.  “Tunggu. Dengarkan aku.”, ucap Mala gelisah. Di tepian ranjang

Dua Cangkir Kopi dalam Satu Meja Ujung

Aku mengusap wajah lalu merogoh cermin di saku tas warna peach- ku. Pantulan dalam cermin persegi kecil dengan bingkai merah muda itu tampak amat lelah. Cekungan dan gradasi cokelat di bawah mata terlihat makin kentara. Jelas saja, beberapa malam aku terus terjaga. Bercumbu dengan script-script novel dan revisi. Untung saja kafe ini cukup memberi ruang rileks ditengah kota Solo yang semakin sibuk setiap harinya. Sejak lahir aku mendiami kota ini. Aku tumbuh di kota dengan segala adat yang begitu memukau . Aku menuju meja ujung dekat jendela di lantai satu . Kafe ini masih sama untuk beberapa tahun terakhir. Hanya pengecatan ulang yang membuat suasananya terlihat baru. Dulu, halaman depan itu masih berupa jalanan beton yang digunakan sebagai lahan parkir. Seiring bertambahnya populasi anak muda dengan kebiasaan nongkrongnya, si pemilik memutuskan meletakkan beberapa meja-meja bulat dengan bangku kayu dan tenda payung sebagai peneduhnya. "Rin, mejanya itu udah dipesen lho .

Bengawan Sore #4

“Kalau suamimu selingkuh, mbok maafin nggak?” Glek, satu tegukan vanilla latte dingin terasa menggantung di kerongkonganku. Setelah menahan sedak, kuatur nafas dan mencoba mengikuti alur obrolan kaum hawa ini. Ditepian meja kayu bundar ini kami bertiga, aku dan kedua sahabatku sejak SMA, duduk sembari menikmati makan siang ala-ala wanita karier. Sejenak pikiranmu mengembara, mereka-reka jalan keluar topik bahasan kami kali ini.  “Kalo aku ya pilih minta pegat. Jadi wanita karier terus besarin anak sendiri.”, aku menjawab tegas. Walau ada jelaga diantara lidahku ketika mengucapkan kalimat itu. Aku tak sampai hati jika harus mendapati Mas Gara bersama perempuan selain aku. “Setuju. Aku juga. Anakku tak titipin simbahnya, terus aku kerja sendiri cari uang yang banyak.”, imbuh Ovi. “Amit-amit, jangan sampai to, tak cakar-cakar perempuan yang godain bojoku nanti.”. Hana mengetuk-ngetukkan kepalan tangannya ke atas meja. “Itu kalau perempuannya yang nakal, lha kalo bojomu