Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2014

Meneriaki Riak

“Mas, air hangatnya sudah siap.”. Lalu kubiarkan kau melucuti satu per satu peluh bekerja seharian. Ketika belum habis air kau guyurkan dari dalam gayungnya, kau menarikku serta. Tidak lelahkah? Pikirku. Tiba-tiba ... Plaaaaak Semua memaku ketika telapak tanganmu mendarat keras diantara pipi kiriku. Dinding-dinding menjerit mengutuk beberapa detik, ketika kepingan-kepingan yang dibangun percaya kau luluh lantahkan seketika. Kau tumpahkan air yang kau kira terlalu panas sampai membakar amarah dan menyambarkannya ke ulu hatiku. Aku tau kita terkontradiksi serupa mata uang dengan dua sisi. Jadi tolong, cukup kali ini saja tahan sebentar bengismu dan dengarkan aku . Satu satu sajakku terbeku mendendam, berhutanglah jiwa pada hampa ruang. Ah engkau pasti tak tau. Belum cukupkah kesakitan tanpa iba itu . B etapa telah engkau berikan rasa . T etapi begitu mudah engkau menumpahkan pilu diantaranya. D iamku menerima kesakitan . K etika jiwa adalah "kita

Menunggui Bulan Bercinta

Lelaki itu duduk memunggungi malam. Merapal kalimat sakti berulang-ulang. Suaranya mulai serak dikejar angin barat daya. Lalu diam, seperti terjebak elipsis kegamangan. Diantara denyut nadinya ada ritme rindu yang tertelan keangkuhan. Aku bertaruh diri masuk alurnya. Melalui sela-sela riak yang yang bergoyang diantara kibasan ingatan. Lalu permukaan air terpecah tak beraturan. Hujankah? Bukan. Rupanya bulir bulir bening jatuh melayang dari mata sayu yang mulai lelah meruntuki rasa. Dia terisak dihadapanku yang telanjang. Ranting-ranting pinggiran bergesek riuh lalu meneriakiku... "Wanita jalang." Datang mereka yang mendikte dengan mulut penuh muntahan.. "Bisa apa dia jika digoda tubuh molek tanpa lindung sehelai saja.". Lelaki itu meremukkan mulut yang belum terkatup dengan sekali hempasan. Lalu menangis sejadi-jadinya. Kamu berlomba dengan siang, untuk tau seperti apa pagi yang mencekikku pelan-pelan. Aku pernah menantang gelap, mencari makna malam.

Kencan Kutukan

Sampanku sudah tertambat sendirian pada maghrib terjelang. Ada bekas jejak kaki berlumpur di pinggiran danau tadi petang. Tak biasanya. Aku mencari, lalu seorang kamu muncul dari balik bayang-bayang pohon yang terlempar ke pelataran. Cinta, jatuh aku. Berawal dari “Hallo” sederhana, kita bercerita.   Kubersihkan kakimu dan kita berjalan lama. Kamu ikatkan tali pada sampanku dengan eratnya. Kamu, ego, aku.  "Kita tak bisa hanya berlayar dengan sampan.", katamu berdiri dan kembali ke daratan. Jika kamu butuh kapal untuk kita berkidung dalam aman, aku upayakan. Namun jika bahtera megah hanya agar kamu tak malu mengarunginya, aku berserah. Lalu, kamu berdiri diantara aku dan seseorang yang bersembunyi dibalik punggungmu. Kekasih yang terkamuflase tawa kita. Kamu gandeng dia dengan sisa-sisa lumpur yang terselip diantara jemari kakimu. Pulanglah, kamu ditunggu pernikahanmu minggu depan. Entah senja ke berapa saat kamu berdiri didepanku lagi. Semalam aku menyap