Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2013

Guguran Bunga Kamboja

Setiap yang hidup pasti akan mati. Seperti sepasang cover buku di pangkuangku sore ini. Begitu memutuskan membuka, suatu saat pasti akan ada waktu dimana aku selesai membaca dan memutupnya kembali. Begitupun kamu. Begitupun aku. Kita ini tokoh dari lembaran kisah dengan Tuhan sebagai Sang Maha Sutradara. Bermainlah, berperanlah. Hingga kamu harus turun dari panggung karena waktumu sudah usang. Beberapa dari mereka takut akan kematian. Mungkin karena tak ada yang tau pasti apa yang terjadi setelahnya. Bagiku, itu sebuah kejutan paling besar. Tak ada yang lebih membuat penasaran daripada apa yang akan ku dapati setelah fase itu terlewati. Menuju apa yang dikatakan orang abadi. Sore di Pemakaman tak jauh dari rumah. Dua nisan terjejer kaku di depanku. Kadang aku merasa wajah seseorang yang terbaring di bawahnya tampak begitu dekat saat aku menatap patrian nama di nisan itu. Samar-samar terdengar langkah kaki dan riuh orang. Di ujung sana ada yang hendak dimakamkan. Isak tangis, lantunan

Berputarlah dan raih tanganku lagi

Pohon itu bisu, tapi punya sejuta maksud mengapa rantingnya tumbuh ke kanan kiri, mengapa buahnya matang, jatuh dan busuk, atau mengapa akarnya mencengkeram tanpa kamu tahu seberapa dalam, namun batangnya diam. Sama halnya aku yang berdiam diri melepas kamu pergi. Tanpa mencoba mencegah langkahmu berlalu. Malam itu aku hanya mampu menatap punggung kakumu yang buram tertutup genangan air di mataku. Di ujung gang... dan tak terlihat lagi. Aku tahu setiap yang datang dan pergi pasti punya alasan. Hanya saja sebab kedatangan lebih mudah diterima dari pada sebab kepergian. Tangisku terjatuh, seiring tetesan embun mati terpecah membentur tanah. Ada yang pernah berkata, kamu itu embun dan aku sehelai daun. Embun tak perlu warna untuk membuat daun mencintainnya.   Begitupun kamu. Kamu juga embun yang terjatuh tanpa aku sadari rintiknya. Aku biarkan kamu singgah di permukaanku. Menari-nari bersama pagi dan bias-bias matahari. Hingga tiba waktunya kamu jatuh. Kamu pergi. Tanpa aku punya

hanya peminjam korek api

Jam 9 malam, di hari pertama Aku duduk di halte 034 jalur utara Jalan Sudirman.   Mengatur nafas sambil memandangi layar ponsel yang sedari tadi tak bergeming. Aku mengambil bungkus rokok dari dalam saku jaketku. Sisa dua. Aku comot satu dan menggapitnya dengan bibirku. Ku rogoh kesemua kantung bajuku mencari-cari korek api. Tidak ada. Aku lupa dimana meletakkannya. Lalu seorang pria paruh baya mengulurkan tangannya yang menggenggam sebuah korek api. Aku menatapnya lama. Sepertinya dia pria baik. Mungkin ia seusia dengan ayahku. Mantelnya terlampau tebal untuk suhu kota yang dinginnya masih bisa ditoleransi. Sepatunya tampak lusuh dengan beberapa bercak lumpur kering diujung-ujungnya. Wajah berjenggot tipisnya tersenyum menampakkan deretan gigi terawat yang jelas bukan gigi seorang perokok. Lantas kenapa ia membawa korek api? Aku pun tersenyum dan meraihnya. Korek api semerah rubi dengan pematik besi berwarna keemasan. Indah sekali. Setelah hembusan pertama rokokku, aku meng