Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2014

Kavling 19

Ada saatnya sesuatu yang kau lupa akan lebih baik jika kelak kau sendiri yang mengingatnya. Sebab hati manusia bagaikan museum menyimpan banyak kenangan. Museum yang baik menata artefak paling bersejarah, menyusun papirus pentingnya dengan tepat memilah-milah. Museum yang baik akan tau mana yang masih perlu diletakkan di tempat prioritas, dan mana yang dibuang saja ke gudang. Bagaimana dengan kenangan luka karena kematian?  Bukankah setiap pertanyaan selalu turun bersama jawabannya. Dan untuk mempertemukan keduanya cuma waktu yang dibutuhkan. Hargo Dumilah, 2012. Ini kali pertama aku mendaki. Keluh bercampur peluh seperti memuai bersama gurat-gurat putih awan melayang di kejauhan. Kau tau, ketika kekasih berada jauh, sang rindu tambah ingin direngkuh. Bersamaan dengan pudarnya bayang wajahmu diantara kepulan rokokku, aku turun. Tinggal beberapa langkah kami ber 5 sampai di pos 3. Dering ponsel terdengar nyaring menyampaikan pesan yang diteri

Elang Telanjang

Protagonis atau antagonis tergantung dari seperti apa seseorang itu berperan dalam pikiranmu. Begitu pula dengan wanitaku. ............... Tubuhnya meliuk beriringan dengan tegukan coctail yang mengalir mulus di kerongkonganku. Dia lucuti satu per satu kain yang tertambat di tubuh putih halus seperti butiran salju Soul. Butiran salju yang meleleh lenyap ketika tangan-tangan hangat hendak menjamahnya. Satu lucutan dan ya, maha karya itu berdiri di atas meja bar dan hampir semua pria bersorak kesetanan. Seorang pria naik ke atas meja dengan secaruk uang kertas. Dia ulurkan tangan hendak menyentuh namun wanita itu berbalik seketika lenyap ke belakang. “Kapan mau berhenti?” tanyaku di ujung tangga. “Nanti. Ketika kamu sudah mampu menghidupiku.” Wanita itu melenggang dengan senyum yang masih seganas dulu. Dia menari, dia telanjang, tapi dia tak pernah membiarkan seorang pria menyentuh sedikit saja tubuhnya dengan balasan uang. Masi

Qori

"Kau kenal pria itu? Pria yang wajahnya mejeng di setiap poster-poster pinggir jalan. Bahkan tergantung di pohon kamboja makam." Aku menunjuk wajah kader partai yang tercetak di spanduk lengkap dengan nomornya. Kawanku tersenyum dengan ujung bibir terangkat sebelah.  ................................. Qori, dia adikku. Hampir setiap kepindahan sekolah, kawan-kawan menertawakan kami. Saturasi warna kulit yang jauh berbeda membuat aku terlihat seperti anak babu sementara dia majikannya. Pernah sekali aku meludahi anak laki-laki yang menghina mata sipit Qori dengan umpatan "Ciduk", sementara Qori hanya diam menunduk. Qori memang tak pernah bicara pada siapapun. Bahkan padaku. Dia hanya bicara pada ibu sesekali waktu. Dia bisu tapi tak tuli. Dia memorikan semua makian anak-anak tetangga lalu mencatatkannya pada sebuah buku kecil yang tersembunyi di bawah kasur. Di tahun keempatku bersekolah, seseorang berseragam hitam-hitam datang ke ruma

Mengais Kembali

Beberapa hal kadang seperti burung merpati dari topi tukang sulap. Entah darimana dia muncul sebagai sebuah kejutan menggelikan. Tapi ketika kau memutuskan untuk mengeluarkannya, tak ada yang tahu bagaimana dia bisa tersimpan kembali. Kecuali jika si pesulap mau mengulang kembali mantra-mantra menjadi reka adegan yang sama. Sama halnya dengan membuang dan meminta kembali. ........................................... Kakiku gontai keluar dari klinik yang sudah 2 tahun ini sering kami sambangi. Aku dan suamiku sudah ditampar kenyataan bahwa selama 3 tahun menikah, rumah kami masih hening dari suara tangisan bayi. S etiap kali kutatapi wajah mertua, kata-kata menyayat kerap pula tersumbat di tengah.  Setiap kali kudatangi dokter kandungan, kelam seperti menagih perih tentang bayang-bayang buah hati yang terperangkap sesuatu yang kututupi. "Kita mampir makan dulu." kata suamiku setelah memakirkan mobil di halaman resto ayam jalan sudirman. Baru selangkah melangk