Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2014

Bengawan Sore #2

“Mau ngapain kamu diam di pinggir jembatan? Bukan bunuh diri kan?” “Huss.. ngawur.”, aku memaki Gara dengan nada bercanda. Pandanganku masih menyapu arus-arus pelan sungai di bawah sana. Senja pukul 17.05 seperti biasanya. Di ujung barat sana tak ada apa-apa. Hanya beberapa pohon diantara atap-atap gedung yang mengintip dari kejauhan. Harusnya senjaku adalah matahari berpamitan malu-malu dan pantulan sinarnya di atas kali bengawan. Sekarang senjaku tak lagi sama. Bahkan sekedar menikmatinya pun tak sebebas dulu. Apa kata orang melihat wanita berdiri di pinggir jembatan, diantara bus-bus dan truk-truk besar yang melaju disisinya.  “Ayo pulang.”. Gara melangkah dengan anak laki-laki kecil di gandengannya. Aku mengekor jalannya. Sesekali melirik ke arah senja disana.  Diujung jembatan, mobil kami teronggok lemah tak berdaya. Entah kerusakan apa yang membuatnya berhenti mendadak. Padahal kami tengah menikmati jalan-jalan sore dikota Bengawan. Jembatan Bacem ini membe

Tak Se-Instan Mie Goreng

“Kamu itu seperti mie goreng. Mau seenak apapun lauk yang ada, pas ngelirik kamu tetep aja berselera”. Suara seraknya sedikit berbisik di telinga kananku. Aku mencubit kecil perutnya yang sedikit buncit hingga dia menggeliat kesakitan. Suara tawa kami tertelan hujan sore ini. Dia, si pria manis ini melemparkan pandangan padaku tanpa bicara. Sementara aku masih sibuk menghabiskan sepiring mie goreng dengan taburan abon. Belum selesai suapan terakhir, saat itu ponselku berbunyi. “Hallo.., udah makan?” “Ini lagi makan.”, jawabku sembari mencoba menelan makanan di dalam mulut. “Makan sayur, jangan mie instan terus.” “Iya, yowes aku makan dulu.” Klik. Aku matikan sambungan telefon. Pria di sampingku membuang muka. Dia menyeruput segelas teh hangat lalu bangkit berdiri tanpa menoleh ke arahku. “Yuk balik.” Aku mengekor langkahnya keluar warung makan.  Di sepanjang trotoar tempat kami berjalan berdampingan pun pria manis ini tidak bicara. Tiba

Sepatu, dicumbu belenggu, dan kamu

Kamu disakitin tetap mau, kamu dikasari tetap mau, kamu dibuang begitu saja apa juga akan tetap mau? Itu cinta atau bodoh? Tanganku gemetar memeras handuk kecil di atas baskom. Tetesan air bergemericik terjatuh seiring bulir-bulir tangis dari sudut mataku.  “Aduh..”, teriakku lirih ketika permukaan handuk itu kutekankan ke pipi. Ada gradasi merah biru di sana. Seperti rona pungkasan senja tadi saat kamu melukiskan warna bekas memar.  Seorang sahabat melihatku iba. “Kenapa bisa sampai seperti ini?”. Aku tersenyum hambar dan menggeleng. Kemarahanmu membuahkan lukisan di wajahku. Aku kehabisan kata.   Sore tadi, satu jam sebelum ada luka ini. “Sebentar kok. Cuma nyerahin berkas.”, ucapku padamu yang berdiri di sisi kendaraan. “Yaudah aku tunggu.”. Kamu sedikit menggigil. Bajumu basah terkena air hujan. Aku berlari masuk gedung bertingkat itu menyelesaikan beberapa urusan. Hadeh, sedikit kerepotan dengan sepatu hak tinggi yang aku pakai. Sungg