Skip to main content

Bengawan Sore #2

“Mau ngapain kamu diam di pinggir jembatan? Bukan bunuh diri kan?”

“Huss.. ngawur.”, aku memaki Gara dengan nada bercanda. Pandanganku masih menyapu arus-arus pelan sungai di bawah sana. Senja pukul 17.05 seperti biasanya. Di ujung barat sana tak ada apa-apa. Hanya beberapa pohon diantara atap-atap gedung yang mengintip dari kejauhan. Harusnya senjaku adalah matahari berpamitan malu-malu dan pantulan sinarnya di atas kali bengawan. Sekarang senjaku tak lagi sama. Bahkan sekedar menikmatinya pun tak sebebas dulu. Apa kata orang melihat wanita berdiri di pinggir jembatan, diantara bus-bus dan truk-truk besar yang melaju disisinya. 

“Ayo pulang.”. Gara melangkah dengan anak laki-laki kecil di gandengannya.
Aku mengekor jalannya. Sesekali melirik ke arah senja disana. 

Diujung jembatan, mobil kami teronggok lemah tak berdaya. Entah kerusakan apa yang membuatnya berhenti mendadak. Padahal kami tengah menikmati jalan-jalan sore dikota Bengawan. Jembatan Bacem ini membelah kotaku dan kota tempat Gara dibesarkan. Lalu puluhan tahun kemudian aku dan Gara dipertemukan ketika aku sedang kalut di Gereja waktu itu.

“Apanya yang rusak mas?”, kata Gara kepada mekanik yang sibuk mengotak-atik mobil kami. Berlanjutlah perbincangan mereka mengenai otomotif yang tidak aku mengerti.
Tak jauh dari tempat mobil kami mogok, seseorang membunyikan klakson. Serempak kami menoleh ke arah sumber suara. Mobil hitam merapatkan lajunya ke arah kami dan berhenti. Seorang pria keluar. Dia berjalan mendekat.

“Mas Dhika...”.

"Gara, piye kabare?”. Kamu menyalami pria gagah yang berdiri disisiku sekarang. Lalu menyapaku hangat.
Aku tak percaya itu kamu, Mas. Sudah bertahun-tahun aku tak melihatmu. Melihatmu, seperti membawaku ke tahun-tahun dulu.

Seingatku, kamu tidak pernah berusaha untuk memulai. “Kita berbeda”. Itu yang selalu menjadi ranjau diantara kamu dan aku. Sampai kamu merasa takut menginjaknya dan enggan berjalan bersamaku. Kamu terlalu takut, Mas. Tepat setelah diammu di jembatan waktu itu, aku melangkah pergi, benar-benar pergi dari apa yang aku kira sudah dijalani. Pikiranku kacau, keruh. Hingga aku tidak bisa lagi melihat pantulan senja seperti biasanya. Bapak mengutusku mengontrak rumah di Solo, agar tidak harus melaju jauh saat berangkat ke kantor. Bapak mengenalkanku pada Gara, putra teman bisnis Bapak. Kebetulan yang membuatku masih sering mendengar namamu karena ternyata Gara juga teman SMPmu. Disana aku menjernihkan pikiran, hingga pantulan senja bisa aku lihat kembali.

Selepas aku pindah, kudengar kamu mencariku ke rumah Bapak Ibuk di Sukoharjo. Satu jawaban bapak yang membuatmu tidak lagi berani mengusikku.

“Shinta meh rabi, suk teko yo le.”

Sejak itu kita diberi sekat, dan aku masih ingat kejadian beberapa tahun pasca aku menikah. Kita sempat bertemu dalam sebuah kenangan yang sampai sekarang masih terlihat jelas. Kini kamu berdiri di depanku.
“Apa kabar, Shin?”, suara serakmu memecahkan lamunanku.
“Eh sae mas. Kamu gimana?”
“Baik juga. Ini putramu? Siapa namanya?”, tanyamu mengusap kepala anakku.

Aku kaku, aku tak bisa bicara banyak. Sampai mekanik selesai membetulkan mobil kami dan aku gandeng jagoan kecilku. Kamu masih memandangi kami. Aku tersenyum di balik kaca mobil dan melaju meninggalkanmu yang masih termangu. Senjamu mungkin masih sama, Mas. Tapi tidak dengan senjaku.

Bersambung kesini -> Bengawan Sore #3

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Barasukma (26)

"Lusa di kedai seberang gerbang, ya?" Mereka sepakat. Seorang perempuan lelah bertukar tanya jawab klise dan rayuan semu sebatas melalui pesan singkat. Tidak perlu menunggu 5 menit untuk kamu diambil lalu dibersihkan, seperti gorengan jatuh sampai dia bilang "Aduh sayang," kan? Komitmennya tak kunjung diberi temu dengan alasan yang tidak mengada-ada tapi selalu diadakan saja. Bisa karena capek kuliah, dikejar deadline laporan, bahkan pesan yang tak terbaca karena bermain game hingga larut malam lalu ketiduran. Bagaimana tidak ragu? Perempuan itu masih duduk ditemani segelas teh dengan jahe yang mengambang. Sengaja tidak dia tinggalkan pesan untuk menguji seberapa janji mereka tidak disepelekan. Sementara si pria asik cekikikan bersama rekan satu kontrakan. Bergemuruh dalam hati mereka niat masing-masing. Tanpa satu menyadari bahwa dia sedang dinanti yang lain. 2 jam berlalu. Perempuan itu tidak menangis. Marah, kesal, namun dia hanya orang