“Mau ngapain kamu diam di pinggir jembatan? Bukan bunuh diri
kan?”
“Huss.. ngawur.”, aku memaki Gara dengan nada bercanda. Pandanganku masih menyapu arus-arus pelan sungai di bawah sana. Senja pukul 17.05 seperti biasanya. Di ujung barat sana tak ada apa-apa. Hanya beberapa pohon diantara atap-atap gedung yang mengintip dari kejauhan. Harusnya senjaku adalah matahari berpamitan malu-malu dan pantulan sinarnya di atas kali bengawan. Sekarang senjaku tak lagi sama. Bahkan sekedar menikmatinya pun tak sebebas dulu. Apa kata orang melihat wanita berdiri di pinggir jembatan, diantara bus-bus dan truk-truk besar yang melaju disisinya.
“Huss.. ngawur.”, aku memaki Gara dengan nada bercanda. Pandanganku masih menyapu arus-arus pelan sungai di bawah sana. Senja pukul 17.05 seperti biasanya. Di ujung barat sana tak ada apa-apa. Hanya beberapa pohon diantara atap-atap gedung yang mengintip dari kejauhan. Harusnya senjaku adalah matahari berpamitan malu-malu dan pantulan sinarnya di atas kali bengawan. Sekarang senjaku tak lagi sama. Bahkan sekedar menikmatinya pun tak sebebas dulu. Apa kata orang melihat wanita berdiri di pinggir jembatan, diantara bus-bus dan truk-truk besar yang melaju disisinya.
“Ayo pulang.”. Gara melangkah dengan anak laki-laki kecil di gandengannya.
Aku mengekor jalannya. Sesekali melirik ke arah senja
disana.
Diujung jembatan, mobil kami teronggok lemah tak berdaya. Entah kerusakan apa yang membuatnya berhenti mendadak. Padahal kami tengah menikmati jalan-jalan sore dikota Bengawan. Jembatan Bacem ini membelah kotaku dan kota tempat Gara dibesarkan. Lalu puluhan tahun kemudian aku dan Gara dipertemukan ketika aku sedang kalut di Gereja waktu itu.
“Apanya yang rusak mas?”, kata Gara kepada mekanik yang sibuk mengotak-atik mobil kami. Berlanjutlah perbincangan mereka mengenai otomotif yang tidak aku mengerti.
“Apanya yang rusak mas?”, kata Gara kepada mekanik yang sibuk mengotak-atik mobil kami. Berlanjutlah perbincangan mereka mengenai otomotif yang tidak aku mengerti.
Tak jauh dari tempat mobil kami mogok,
seseorang membunyikan klakson. Serempak kami menoleh ke arah sumber suara.
Mobil hitam merapatkan lajunya ke arah kami dan berhenti. Seorang pria keluar. Dia berjalan mendekat.
“Mas Dhika...”.
"Gara, piye kabare?”.
Kamu menyalami pria gagah yang berdiri disisiku sekarang. Lalu menyapaku
hangat.
Aku tak percaya itu kamu, Mas. Sudah bertahun-tahun aku tak
melihatmu. Melihatmu, seperti membawaku ke tahun-tahun dulu.
Seingatku, kamu tidak pernah berusaha untuk memulai. “Kita
berbeda”. Itu yang selalu menjadi ranjau diantara kamu dan aku. Sampai kamu
merasa takut menginjaknya dan enggan berjalan bersamaku. Kamu terlalu takut,
Mas. Tepat setelah diammu di jembatan waktu itu, aku melangkah pergi, benar-benar
pergi dari apa yang aku kira sudah dijalani. Pikiranku kacau, keruh. Hingga aku
tidak bisa lagi melihat pantulan senja seperti biasanya. Bapak mengutusku mengontrak rumah di Solo, agar tidak harus melaju jauh saat berangkat ke kantor. Bapak mengenalkanku pada Gara, putra teman bisnis Bapak. Kebetulan yang membuatku masih sering mendengar namamu
karena ternyata Gara juga teman SMPmu. Disana aku menjernihkan pikiran, hingga
pantulan senja bisa aku lihat kembali.
Selepas aku pindah, kudengar kamu mencariku ke rumah Bapak
Ibuk di Sukoharjo. Satu jawaban bapak yang membuatmu tidak lagi berani
mengusikku.
“Shinta meh rabi, suk teko yo le.”
Sejak itu kita diberi sekat, dan aku masih ingat kejadian beberapa tahun pasca aku menikah. Kita sempat bertemu dalam sebuah kenangan yang sampai sekarang masih terlihat jelas. Kini kamu
berdiri di depanku.
“Apa kabar, Shin?”, suara serakmu memecahkan lamunanku.
“Eh sae mas. Kamu gimana?”
“Baik juga. Ini putramu? Siapa namanya?”, tanyamu mengusap
kepala anakku.
Aku kaku, aku tak bisa bicara banyak. Sampai mekanik selesai
membetulkan mobil kami dan aku gandeng jagoan kecilku. Kamu masih memandangi
kami. Aku tersenyum di balik kaca mobil dan melaju
meninggalkanmu yang masih termangu. Senjamu mungkin masih sama, Mas. Tapi tidak
dengan senjaku.
Bersambung kesini -> Bengawan Sore #3
Bersambung kesini -> Bengawan Sore #3
Gaya menulismu ki rin, santai bgt.. Gawe ngiri..
ReplyDeletematur suwun. jangan ngiri, belajar ^^
ReplyDelete