Seorang gadis duduk di salah satu sudut boulevard kampus.
Dia memeluk sebuah buku kecil yang terselipkan pena di sisi dalam. Dilihat dari
dekat ada bekas luka sayatan di pundaknya. Memanjang dan menyilang melewati dada. Matanya
terpejam dan kepalanya bergerak ke kiri kanan. Dia buka buku kecilnya dan mengapit
pena dengan jari-jari mungil. Sesekali dia tertawa sendiri. Di akhir paragraf
barulah terbaca dia menuliskan betapa merahnya senja hari itu. Di sebelahnya
duduk seorang pemuda dengan earphone di kepala. Tidak ada yang dilakukan si pemuda, hanya duduk dan memandangi si gadis yang asik menulis. Senyum manis
jelas tersungging dari lekuk bibir mereka. Mungkin dilanda cinta.
Senja berikutnya, dengan ritual
yang sama. Senja ini lebih merah dari
biasanya, sama halnya dengan senyum mereka yang lebih lebar beberapa senti dari sebelumnya.
Begitu seterusnya sampai senja tampak biasa saja. Sepasang orang aneh di
boulevard kampus itu pun demikian. Duduk diam tanpa memandang satu sama lain.
Berdiam diri lama tanpa ada yang mau mengingkari gengsi memulai bicara.
Suatu hari keadaan terlihat beda, ada gadis lain di balik
punggung si pemuda. Dia duduk diam tanpa banyak bicara. Gadis pembawa buku
kecil itu marah. Dia merobek-robek beberapa halaman terakhir yang dibuka. Dia
tidak bisa menulis dengan kehadiran orang lain disana. Senja hari
itu mendung. Bukan senja yang merona.
Memasuki bulan kedua senja sudah berubah warna. Gadis itu
menangis sesenggukan sambil berkata panjang lebar. Tapi si pemuda diam tak
mendengar, masih dengan earphone yang dikenakan. Beberapa jam tiba-tiba si
pemuda berteriak. Pemuda itu meraih pundak si gadis. Bukan hendak memeluknya,
ia justru mencengkeram kuat. Dengan sekali gerakan tangan, kukunya merobek bekas
luka yang bahkan belum kering sepenuhnya.
“Bukan aku saja yang merobekmu. Kau sudah luka. Kau sudah berdarah-darah!”
Gadis itu tersentak dalam diam dan hujan turun dengan
perlahan.
"Lalu kenapa kau robek lebih lebar lagi?"
Beberapa hari tapi keduanya tidak lagi melihat senja
bersama. Kadang gadis itu sendiri, kadang malah tidak ada siapa-siapa di sana. Entah
itu sore ke berapa gadis itu duduk sendiri di boulevard. Masih dengan buku
kecil dan sebuah pena. Jalannya tak selenggang biasanya. Pijakannya agak berat menindih-nindih
guguran daun ketapang. Kemudian dia berhenti sebentar, diam, lalu duduk
menyilakan kaki di trotoar jalan.
Sama seperti biasanya, dia mencorat-coretkan
senja dalam buku kecilnya. Gadis itu
menghentikan gerakan tangannya. Penanya mengambang beberapa senti dari lembaran
kertas. Pandangannya terggantung kosong ke bawah. Beberapa lama lalu menghela
nafas panjang. Ia menengadahkan kepala. Melihat sinar yang tak semerah yang ia
duga, merasa sore yang tak secerah yang ia tulis. Hingga menyadari senjanya tak
lagi sama. Senjanya hilang entah kemana. Dia berdiri dan berjalan lagi. Kembali berjalan sendiri. Sampai cahaya matahari memudar dan langit tak lagi merah. Layaknya hati yang gusar dan mata yang mulai basah.
Comments
Post a Comment