"Jika yang suci selalu bening,
maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo.
Perempuan di depanku memandang
kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa
prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya
keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang
pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai.
Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan
lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? Bahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima
kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami
terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa
membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya.
”Kamu baik-baik saja?” tanyaku mengambang.
Sementara si perempuan.
Matanya menerobos masa dan mendimensikan sosok seseorang di dalam pikiran. Tanpa sadar jemari tangan kanan mengusap bulatan emas yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Ukuran yang pas, tapi seolah ada rongga diantara kilauan logam mulia itu dan kulitnya yang membuat beberapa kenangan lama menyusup masuk. Rasanya baru beberapa menit mereka duduk berdua.
Matanya menerobos masa dan mendimensikan sosok seseorang di dalam pikiran. Tanpa sadar jemari tangan kanan mengusap bulatan emas yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Ukuran yang pas, tapi seolah ada rongga diantara kilauan logam mulia itu dan kulitnya yang membuat beberapa kenangan lama menyusup masuk. Rasanya baru beberapa menit mereka duduk berdua.
"Kamu baik-baik saja?" Sentuhan lembut pria itu menggenggam telapak tangannya.
Ternyata lamunan sudah mencumbuinya berjam-jam sampai kopi di dalam cangkir menggigil dingin. Pria di hadapannya, perempuan ini tidak tahu berapa voltase kesabaran yang disimpan. Perempuan ini mencintainya. Tapi ada kepingan hatinya yang masih menyisakan sedikit keganjalan pada kenangan, dan payahnya si perempuan bukan orang yang pandai menyembunyikan dari sepasang mata di hadapan.
Cling..
Ponsel pria itu berbunyi. Dia segera meraihnya dan mengetik beberapa pesan singkat.
"Siapa?" tanya si perempuan.
"Hanya kawan." Dia menjawab tanpa melepaskan mata dari layar 5 inchi itu.
Si perempuan diam. Pria itu selalu tahu apa yang harus dia lakukan pada keadaan seperti barusan. Dia meletakkan ponsel di atas meja. Memutar layarnya dan mengarahkan pada si perempuan. Seketika perempuan itu menunduk, si pria akan sedikit mencondongkan badan dan menempelkan bibirnya ke kening si perempuan.
"Tenanglah. Apa kamu akan seperti ini jika kita sudah menikah? Jangankan hati, membagi pikiran pada perempuan lain saja tidak."
Gleek. Membagi pikiran? Si perempuan menelan ludah.
-----------------------------
"Selesaikanlah." Aku memeluknya erat.
Perempuan itu melangkahkan kaki bersepatu gunung abu-abu. Parka tebal yang dia kenakan tak bisa menutupi tubuhnya yang gemetar. Dia mendekati seorang pria bertubuh besar. Pria yang meninggalkannya beberapa tahun silam. Pria sebelum aku yang mendatangi perempuanku baik-baik, membuat perempuanku berekspektasi, lalu pergi tanpa ada kata permisi. Aku berdiri tidak jauh dari mereka dan belum ada kata-kata yang terdengar. Rupanya mereka masih saling diam.
"A.. aku tidak lagi mengharapkan kamu tinggal. Hanya saja.. hanya aku berharap kamu lebih cerdas untuk paham bagaimana cara berpamitan." Perempuan itu membuka mulutnya dan bersuara serak.
Aku memutuskan lebih menjauh dari tempat kedunya saling bicara. Terlihat sesekali perempuan itu menyeka air mata. Tak lama berbalik dan menuju ke arahku. Dia ambruk di dekapanku.
"Sudah?" tanyaku.
Dia hanya diam dan memelukku lebih erat. Aku mencintainya. Aku mencintainya tanpa mengusik bagian hatinya yang masih luka. Aku terlalu mencintainya sampai hanya bisa membiarkan dia mencintaiku semampunya.
"Ayo.... Kita habiskan kopi berdua." kutuntun langkahnya perlahan.
Comments
Post a Comment