Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2015

Cumbu Cemas

Harapan itu semestinya hidup, bukan sekedar peluh yang jatuh entah kemana seusai mereka bercinta. Barangkali peluh terhapus tissue atau memuai seketika dan hilang begitu saja. Harapan sewajarnya dipelihara. Dia dibesarkan. Dan dia dirawat sebaik-baiknya. Lantas kalau sudah besar akan diapakan? Bukankah akan lebih berat membawa sesuatu yang besar? Kalau tak bisa dijinjing, kau bisa memikulnya bersama seperti kata pepatah lama. Yakinkah mereka mempunyai harapan? Mungkin pernah mempunyai. Sama-sama mempunyai. Masihkah mempunyai? Tidak jika keduanya bercinta tanpa rasa cinta yang sesungguhnya. Tapi siapa yang memperdebatkan cinta jika otak hanya berfikir bagaimana mencapai puncak orgasme saat itu juga. Siapa yang tak lelah kalau membangun harapan, diambrukkan, membangunnya lagi, diretak-ambrukkan lebih hancur lagi, membangun harapan lebih lagi. Si perempuan menciumi si lelaki pelan-pelan. Dia memorikan aroma tubuh, lekuk demi lekuk, dan segala relung yang bisa dia nikmati sendiri

Sebelum Lumpur Mengerak

Malam padam diguyur hujan lewat. Gelisah melengkung di wajah mendung ngelangut. Kamu memutar ulang memoar bertalu dan menggiring kejam ingatan selintas ke masa lalu. Kamu yang menyelinapi mimpi tanpa tidurku semalam. Dan kamu. Kamu tidur di sisiku sekarang dengan begitu banyak pesan manis memuakkan di ponselmu dari gadis lain yang entah keberapa. Dini hari ini, dalam lelapmu dan nafas yang terasa di balik punggungku, kamu seperti begitu berjarak padahal hanya satu kedipan mataku. Jika saja jejak mampu bercerita, ia akan ditikam kebisuan dalam beku lidah. Baik jejak maupun lidah, keduanya tak mampu mengurai apa saja yang sudah kita lewatkan. Apakah terlampau banyak? Atau terlalu lama kita menyadari bahwa sebenarnya kita saling membutuhkan? Aku pernah melepasmu untuk apapun yang bisa membuatmu merasa cukup bahagia. Aku pernah dipaksa merelakanmu dan diharuskan bersikap baik-baik saja.   Kemudian kamu kembali. Kamu kembali dengan beberapa pelarian yang masih mengikuti. Ibarat hen

Penampungan di Ujung Lorong Panjang

Aku hidup di dalam sebuah penampungan bersama ribuan kawanku yang bertahan di sana. Aku hidup selagi nafas masih mengalun beriringan dengan darah. Beberapa kali aku terdesak oleh mereka yang kadung menyerah dan lelah. Aku memilih tetap berdiam dan memejam daripada menyeruak hilang arah pada pagi yang memunguti sisa-sisa mimpi. Aku benci mengemis. Aku benci harus bersaing ketika belum benar-benar di harapkan. Dan aku benci rasanya terbuang. Suatu hari aku mengintip dari pintu penampungan. Ada sesuatu di seberang lorong sana. Lebih tepatnya seseorang. Dia cantik. Badannya bulat. Dia kokoh seperti gunung salju. Meski tiap beberapa hari aku tahu dia jatuh dan menangis. Tapi tak cukup lama dia akan kembali duduk di sana dengan anggun dan menunggu ada yang datang. Dia sering diperbincangkan kawan-kawanku. Dia primadona.  Aku menyukai senyumannya ketika aku malu-malu mengintip. Aku mengagumi badannya yang bulat dan sesekali bergerak mengikuti gelagatku yang masih belum cukup nyali mendek