Skip to main content

Penampungan di Ujung Lorong Panjang

Aku hidup di dalam sebuah penampungan bersama ribuan kawanku yang bertahan di sana. Aku hidup selagi nafas masih mengalun beriringan dengan darah. Beberapa kali aku terdesak oleh mereka yang kadung menyerah dan lelah. Aku memilih tetap berdiam dan memejam daripada menyeruak hilang arah pada pagi yang memunguti sisa-sisa mimpi. Aku benci mengemis. Aku benci harus bersaing ketika belum benar-benar di harapkan. Dan aku benci rasanya terbuang.

Suatu hari aku mengintip dari pintu penampungan. Ada sesuatu di seberang lorong sana. Lebih tepatnya seseorang. Dia cantik. Badannya bulat. Dia kokoh seperti gunung salju. Meski tiap beberapa hari aku tahu dia jatuh dan menangis. Tapi tak cukup lama dia akan kembali duduk di sana dengan anggun dan menunggu ada yang datang. Dia sering diperbincangkan kawan-kawanku. Dia primadona. Aku menyukai senyumannya ketika aku malu-malu mengintip. Aku mengagumi badannya yang bulat dan sesekali bergerak mengikuti gelagatku yang masih belum cukup nyali mendekat.

Kisahnya sampai pada kami semua di penampungan. Sayang, belum ada yang beruntung bisa bersatu dengannya. Sering kali kawan-kawanku berlari mendekat, tapi mereka tak bisa melewati batas penampungan. 

Berhari-hari berikutnya sampai sudah masuk hitungan bulan, aku jarang melihatnya dari kejauhan. Ketika aku sudah temui apa yang aku tuju. Dia sedang tak di sana. Dia pergi. Dia menyerah. Dia menangis lagi. Mungkin dia tak cukup kuat untuk bertahan tetap di sana dan menungguku sendirian. Atau justru aku bukan yang dia harapkan untuk luruh dalam pelukannya?

Suatu hari aku dikagetkan dengan ribuan kawanku yang belarian keluar dari penampungan. Ada apa ini? Apakah dia kembali? Hendak kemana kawan-kawanku ini? Tunggu. Ini bukan jalan yang biasanya kami lewati. Ini lorong basah, gelap, pengap, dan bukan tempat aku bertemu si cantik itu. Di mana ini? Dalam beberapa detik mereka semua hilang di ujung terowongan.

***

Hari berikutnya, seorang pria terbaring dalam ketakberdayaan. Dia menatap lekat wanita di sisinya seraya berkata. “Aku minta maaf. Aku lelah bermain dengan yang lain. Aku ingin serius. Aku mencintamu.”

Wanita itu merenggangkan kembali pelukannya setelah si pria membuat kedua lengannya cidera. Dia tersenyum hambar. Akankah cinta yang dimaksud sama ketika keduanya diuji dan masih lengkap berpakaian? Jangankan wanita lain yang dikencani, aku yang mengenalnya sedari dia beranjak dewasa saja kagum pada licin lidah pria ini. 

Aku kini dipersatukan dengan si cantik bulat kesayanganku. Tunggu saja, dua garis merah akan ada beberapa bulan lagi. Kami bersatu. Kami bahagia. Sama halnya cinta manusia, kami dan kami-kami lain di antara peluh cumbu sepasang kekasih di luar sana juga ingin dipersatukan. Entah di harapkan atau tidak. Entah berapa kali aku menjadi saksi betapa banyak wanita lain yang pria ini tiduri. Entah apakah maaf sanggup melunasi harga dari sebuah pengkhianatan. Atau mau bertanya pada Tuhan? Bagaimana mau menjawab, Tuhan saja mengutuk segala di dalam kamar ketika wanita itu tak tahu prianya mengencani wanita lain semalam sebelumnya. 

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Taraa.. This is Tribal Trends

“Sist, aku mau crop tribalnya ya. Ready kapan?”             Yang gila fashion pasti tau dong motif tribal. Motif tribal lagi happening nih. Para desainer juga lagi berlomba-lomba buat menciptakan busana dengan motif tribal. Mulai dari sekadar kaus, rok, blazer, tas, turban, wedges, sampai garskin! Tapi tau nggak sih gimana asal- usul si tribal ini? Penasaran? Let see… Tribal dalam arti kata bahasa inggris artinya kesukuan. So, tribal mencerminkan tentang motif kesukuan seperti gambar rusa, pohon, dll. Hampir mirip sama Indian style tapi bedanya Tribal lebih menonjolkan corak garis garis yang sejajar dan lebih bermacam warna. Sedangkan Indian Style cenderung berwarna gelap dan cokelat. Nah, karena tribal merupakan motif kesukuan berarti motif-motif khas daerah di Indonesia juga bisa dikategorikan sebagai motif tribal. Motif tribal ala Indonesia juga banyak banget. Ada corak suku dayak, tenun ikat, tenun todo