Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2013

Burung biru

Aku duduk di tumpukan kapas lembut berlapiskan sprei warna cokelat muda. Menatap langit di seberang jendela dengan mata cerah berbinar. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada bintang merah disudut simbol burung biru mungil itu. New mentions Happy wedding anniversary, honey Lalu tawa renyahku pecah seketika. Wajahku yang sekarang seperti kepiting rebus melirik ke sebelah kanan. Ada seorang pria duduk disana. Tubuhnya hanya dua jengkalan tangan dari tubuhku. Dia menoleh dan berkerling genit. Beberapa saat kami saling menatap dalam diam. Langsung saja aku peluk dia. *** Semesta itu lucu. 35 kilometer dari tempat seseorang dibesarkan dan beberapa tahun setelah dia dilahirkan, ada aku. Yang tak pernah menyadari ada dia diantara manusia lain di bumi. Hingga alam ini membantu. Untukku bertemu seorang dia. Beberapa hari ini temanku burung biru dengan jutaan pikiran manusia di dalamnya. Sejak aku ada dan sebelum aku tau tentang dia, aku sudah punya dunia. Dengan segala cerita di dalamnya. Bangun

Untuk Si Kembar di Meja Belajar

Pernahkan kamu melewatkan apa yang harusnya kamu perhatikan? Mungkin karena kamu terlalu kencang berlari hingga acuh pada mereka yang ditepi.  Jam sebelas malam, entah tanggal berapa. Aku baru saja mengunci pintu setelah memasukkan motor dengan knalpot yang masih panas. Tadi seorang teman yang mampir ke radio dan kami mengobrol hingga dua jam lewat dari jadwal pulangku. Langsung saja aku masuk ke kamar dan haaah... hallo kasur kesayangan. Kita ketemu lagi dengan lelah malam ini. Aku bantingkan tubuhku dan merebahkan diri. Setiap baru pulang gulat dengan naskah-naskah iklan, rasanya malas bergerak. Kasur adalah cloroform paling ampuh untuk semua rasa lelah. Perutku berbunyi. Aku melangkah menuju dapur, mencari adakah yang bisa mengganjal untuk kelaparan tengah malam begini. Di ujung tangga, aku melintasi pintu kamar si kembar. Lampunya masih menyala dan ada suara seperti membereskan sesuatu dari dalam. “Belum tidur?”, kataku melihat salah satu adik kembarku masih terjaga. “

Sakit Sendiri

Drrrt drrrt Arrgh ... Getar ponsel membuyarkan konsentrasiku . Dengan enggan aku lihat layarnya dan nama kamu tertulis disana . Aku letakan begitu saja tanpa membuka isi pesan singkat itu. Baiklah, data statistik kita bercumbu lagi malam ini. Hingga dini baru aku tekan turn off dan menggeliat di atas kursi putar. Aku mengambil kembali ponselku dan membalas smsmu seadanya. Kamu : Jangan lupa makan . Obatnya diminum . Jaga kondisi . Aku : Iya . Mak asih Ya, amat seadanya. Entah kenapa aku merasa kita hambar. Kita berjalan beriringan tapi pikiran kita berpencar. Kamu genggam tanganku tapi jariku menggerutu ragu. Beberapa saat detak jam mengencangkan volumenya diantara hening pekat. Pikirku berkilah "Akhiri saja". Lalu dalam hati meringkuk lemah "Aku takut kesepian." Dalam satu diri ini ada perang diantaranya. Antara batin dan fikir yang sungkan berkompromi pada keadaan. Selalu saja terpikir "Bagaimana jika aku rindu kamu? Bagaimana j

Kata Denting Pada Dinding

"Denting yang berbunyi dari dinding kamarku......" Aku terpejam bersama iringan detak jantung yang senada dengan putaran lagu lirih dari pengeras suara. Nafasku mengalun lembut. Pikiran ini kosong, layaknya harapan yang hanya dirasa pada sebuah percakapan singkat via telefon. Ada kerinduan disini. Kenapa terasa sesak tiba-tiba. Lalu rasanya membaur bersama hempusan angin air conditioner. Klise klise memory seakan berputar di benakku. Menjadikan sebuah replay film dalam keneningan. Aku takut membuka mata. Aku rindu kita Aku rindu harus terjaga untuk sekedar memastikan seseorang sampai di rumah. Aku rindu mendapati pesan singkat saat bangun tidur. Aku rindu omelan kecil kekhawatiran ketika lambungku mulai merintih. Aku rindu ketenangan dalam sebuah kecupan kening yang lembut. Aku takut membuka mata. Lalu gambar wajahmu seolah nampak dekat. Begitu terasa makin jelas ingatan tentangmu semuanya buyar. Seperti debu yang ditiup dan hilang butirannya kemudian. Satu demi satu

Lagu Hening Ujung Jalan

Langkah kaki seorang gadis tiba-tiba memecah petikan gitar di dalam sebuah toko alat musik. Seorang pemuda menoleh kaget lalu meletakkan kembali gitar akustik pada sebuah sandaran kayu berlapis plitur mengkilap. Lindhu namanya, dan dia hanya tersenyum kikuk tanpa bersuara. "Gitarnya bagus. Maaf aku lancang mencobanya.", kata Lindhu sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal. Gadis itu masih diam. Mungkin si gadis sama juga dengan ayahnya, pemilik toko alat musik di ujung jalan ini yang terkadang memarahi Lindhu karena masuk ke tokonya hanya untuk mencoba memainkan gitarnya. "Baiklah... aku keluar sekarang.". Lindhu melangkak mundur mendekati pintu lalu keluar membaur bersama jalanan kota tua. Dia masih melirik ke arah gitar akustik berwarna cokelat di deretan tengah. Kelak ketika recehannya terkumpul, ia akan membeli gitar untuk teman hidup di jalanan. Tak harus bagus, setidaknya dia ingin punya gitar. Dan ternyata gadis itu masih diam di tempat saat Lindhu kelu