Pernahkan kamu melewatkan apa yang
harusnya kamu perhatikan? Mungkin karena kamu terlalu kencang berlari hingga
acuh pada mereka yang ditepi.
Jam sebelas malam, entah tanggal
berapa.
Aku baru saja mengunci pintu setelah
memasukkan motor dengan knalpot yang masih panas. Tadi seorang teman yang mampir ke radio dan kami
mengobrol hingga dua jam lewat dari jadwal pulangku. Langsung saja aku masuk ke
kamar dan haaah... hallo
kasur kesayangan. Kita ketemu lagi dengan lelah malam ini. Aku bantingkan
tubuhku dan merebahkan diri. Setiap baru pulang gulat dengan
naskah-naskah iklan, rasanya malas bergerak. Kasur adalah cloroform
paling ampuh untuk semua rasa lelah.
Perutku berbunyi. Aku melangkah menuju dapur, mencari
adakah yang bisa mengganjal untuk kelaparan tengah malam begini. Di ujung
tangga, aku melintasi pintu kamar si kembar. Lampunya masih menyala dan ada
suara seperti membereskan sesuatu dari dalam.
“Belum tidur?”, kataku melihat salah satu adik kembarku masih terjaga.
“Belum tidur?”, kataku melihat salah satu adik kembarku masih terjaga.
“Baru selesai ngerjain pr sama
belajar buat ulangan, mbak. Tadi aku nunggu mbak pulang.”, katanya polos
sembari memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya.
Astaga, aku lupa. Aku mengumpat
dalam hati. Lalu mengingat kembali apa yang terjadi siang tadi.
“Mbak, nanti pulang jam berapa?”,
kata Bunga, adik kembarku yang berjalan membuntuti dan membawa beberapa
buku pelajaran.
“Paling jam 9. Tergantung banyak
kerjaan apa engga.”, kataku tanpa menoleh ke arahnya.
“Nanti ajarin aku matematika ya
mbak? Besok ada ulangan.”.
Aku mengiyakan lalu melenggang pergi.
Ada rasa bersalah dalam diri ini.
“Terus gimana PR nya? Udah dikerjain kan?”, kataku melihat meja belajarnya
sudah rapi. Adikku berjalan menuju kasur. Sebelum memposisikan diri untuk tidur
ia mengangguk. Matanya sembab. Apa ia baru saja menangis?
“Yasudah cepat tidur.”, lalu aku
kembali menuju dapur.
Beberapa hari berlalu hingga sore
itu aku mendapati kertas ulangan bertuliskan nilai 65.
“Mbak, aku besok remidi.”, kata Bunga tak berani menatapku.
“Mbak, aku besok remidi.”, kata Bunga tak berani menatapku.
“Kok bisa?”, aku tersulut emosi.
“Aku belum ngerti, mbak.”, ia masih
tertunduk. Aku menarik kursi plastik lalu menyuruhnya duduk semeja denganku. Aku
suruh ia mengerjakan beberapa soal seusai aku menerangkan. Salah lagi. Aku mencorat-coret angka
pada kertas, mengulangi lagi, sekali, dua kali, dan akhirnya kesabaranku habis. Entah kalimat apa yang aku ucapkan hari itu. Yang jelas adikku menangis. Aku tinggalkan
dia mematung seorang diri.
Malamnya, ponselku berdering. Satu
panggilan dari orang tua murid di les privat yang aku rintis kecil-kecilan.
“Hallo, selamat malam.”
“Mbak Arina. Ini Ibunya Mona. Minggu
depan bisa mulai les lagi buat persiapan ujian? Tahun ini kan sudah kelas 3
smp.”
Begitu obrolan selesai, aku menutup ponsel dan terdiam sendiri.
Begitu obrolan selesai, aku menutup ponsel dan terdiam sendiri.
Aku gontai mendekati rak-rak yang
memenuhi satu sisi tembok kamar. Ada ratusan buku yang tak pernah aku buang dan
terjajar rapi. Lalu mataku memindai
tumpukan kertas yang diatasnya tertulis materi smp kelas 2. Masih tersimpan
beberapa lembar kertas ulanganku dulu. Beberapa usang dan lainnya masih utuh
meski tintanya sedikit memudar. Ternyata aku pernah sepintar itu. Aku ingat
dulu aku tak pernah keluar rumah untuk ini. Tiap hari menyibukkan diri dengan
soal-soal hitungan yang bagi sebagian orang memuakkan. Beasiswa, lomba matematika, persaingan nilai
dengan salah seorang sahabat yang saling menyemangati itu malam mingguku dulu.
Aku tak terlahir langsung punya kemampuan berhitung seorang mahasiswi. Aku
butuh belajar.
Mungkin begitu pula dengan adikku. Di ambang pintu adikku berdiri.
“Mbak, kalo udah engga sibuk aku
ajari ya.”, ia tersenyum dan menyeka air mata. Aku peluk dia dan menangis
berdua.
Buat apa kamu pandai kalau hanya
untuk diri sendiri. Bukankah ilmu tak akan pernah habis meski kamu bagi?
Setidaknya untuk orang-orang yang kamu sayangi.
Terkadang seseorang butuh jeda untuk menyadari keegoisannya. Terlalu tak mau tau pada mereka yang setia menunggu. Terlalu tak peduli karena ambisi mengejar keinginan sendiri.
Terkadang seseorang butuh jeda untuk menyadari keegoisannya. Terlalu tak mau tau pada mereka yang setia menunggu. Terlalu tak peduli karena ambisi mengejar keinginan sendiri.
Anak ibu semua pinter. Mbak
Janji....
Comments
Post a Comment