Harapan itu semestinya hidup, bukan sekedar
peluh yang jatuh entah kemana seusai mereka bercinta. Barangkali peluh terhapus
tissue atau memuai seketika dan hilang begitu saja. Harapan sewajarnya
dipelihara. Dia dibesarkan. Dan dia dirawat sebaik-baiknya. Lantas kalau sudah
besar akan diapakan? Bukankah akan lebih berat membawa sesuatu yang besar? Kalau
tak bisa dijinjing, kau bisa memikulnya bersama seperti kata pepatah lama. Yakinkah
mereka mempunyai harapan? Mungkin pernah mempunyai. Sama-sama mempunyai. Masihkah
mempunyai? Tidak jika keduanya bercinta tanpa rasa cinta yang sesungguhnya. Tapi
siapa yang memperdebatkan cinta jika otak hanya berfikir bagaimana mencapai
puncak orgasme saat itu juga.
Siapa yang tak lelah kalau membangun
harapan, diambrukkan, membangunnya lagi, diretak-ambrukkan lebih hancur lagi,
membangun harapan lebih lagi. Si perempuan
menciumi si lelaki pelan-pelan. Dia memorikan aroma tubuh, lekuk demi lekuk,
dan segala relung yang bisa dia nikmati sendiri dalam ingatan. Agar kelak jika
rindu tak habis-habis, dia bisa merayakan bersama malamnya ketika si lelaki tak
berada di sisi. Si perempuan membersihkan tubuhnya
dengan nafas yang masih tersengal.
“Apa kau mencintaiku?” tanya si lelaki.
Mata si perempuan menatap si
lelaki lekat. Serupa mengirim sepaket pesan berisi kegembiraan
sekaligus
kecemasan. Teristimewa dari cinta adalah menjelma menjadi jerat.
Semakin
cinta melekat, semakin kuat cinta mengerat. Jika cinta itu telah
menukik, jerat itu kian mencekik. Sementara bagi si perempuan, waktu merupakan
hal terpelik
dan mendebarkan. Waktu menerbitkan tanya paling klasik. “Apakah esok masih ada harap
untuk
dijabat? Akankah esok masih ada janji untuk ditagih? Bisakah esok masih ada si lelaki
untuk dimiliki?”
Rahim tak pernah memperdebatkan tentang
siapa jagoan-jagoan kecil yang berhasil menerobos satu singgasana kokoh yang
menunggu malu-malu. Kau bisa sungkan jika ‘keluar’ lebih dahulu. Tapi memangnya
kenapa kalau ketahuan mencintai lebih dalam?
“Iya. Saya mencintaimu lebih dalam.”
Tiba-tiba si lelaki menanya sesuatu
yang membuat si perempuan terdiam.
Tidak bisakah kau membuat aku tenang
barang sebentar? Batin si perempuan. Aku sudah lelah marah. Aku sudah bosan pada
kekecewaan dan kemurkaan tetapi masih harus
kupendam agar tak meluap.
Bahkan si lelaki tak pernah berani
menuntaskannya ‘di dalam’. Senikmat apapun mereka bercinta, dia terlalu takut
menerima resiko yang entah seperti apa nantinya. Sementara si perempuan menyisir
rambutnya sambil tersenyum getir.
“Wajar kan kalau aku ketakutan? Kau tak
pernah tahu apa yang terjadi di dalam rahimku, sama seperti aku yang tak pernah
tahu apa yang akan terjadi di dalam hatimu. Bukankah sama?”, kata si perempuan
memakai kembali pakaiannya.
............................
Kalau begini saja sudah nyaman, tak
perlu bertanya macam-macam, maka aku tak akan berfikir yang tidak kita harapkan.
Comments
Post a Comment