Skip to main content

Cumbu Cemas

Harapan itu semestinya hidup, bukan sekedar peluh yang jatuh entah kemana seusai mereka bercinta. Barangkali peluh terhapus tissue atau memuai seketika dan hilang begitu saja. Harapan sewajarnya dipelihara. Dia dibesarkan. Dan dia dirawat sebaik-baiknya. Lantas kalau sudah besar akan diapakan? Bukankah akan lebih berat membawa sesuatu yang besar? Kalau tak bisa dijinjing, kau bisa memikulnya bersama seperti kata pepatah lama. Yakinkah mereka mempunyai harapan? Mungkin pernah mempunyai. Sama-sama mempunyai. Masihkah mempunyai? Tidak jika keduanya bercinta tanpa rasa cinta yang sesungguhnya. Tapi siapa yang memperdebatkan cinta jika otak hanya berfikir bagaimana mencapai puncak orgasme saat itu juga.

Siapa yang tak lelah kalau membangun harapan, diambrukkan, membangunnya lagi, diretak-ambrukkan lebih hancur lagi, membangun harapan lebih lagi. Si perempuan menciumi si lelaki pelan-pelan. Dia memorikan aroma tubuh, lekuk demi lekuk, dan segala relung yang bisa dia nikmati sendiri dalam ingatan. Agar kelak jika rindu tak habis-habis, dia bisa merayakan bersama malamnya ketika si lelaki tak berada di sisi. Si perempuan membersihkan tubuhnya dengan nafas yang masih tersengal.

“Apa kau mencintaiku?” tanya si lelaki.

Mata si perempuan menatap si lelaki lekat. Serupa mengirim sepaket pesan berisi kegembiraan sekaligus kecemasan. Teristimewa dari cinta adalah menjelma menjadi jerat. Semakin cinta melekat, semakin kuat cinta mengerat. Jika cinta itu telah menukik, jerat itu kian mencekik. Sementara bagi si perempuan, waktu merupakan hal terpelik dan mendebarkan. Waktu menerbitkan tanya paling klasik. “Apakah esok masih ada harap untuk dijabat? Akankah esok masih ada janji untuk ditagih? Bisakah esok masih ada si lelaki untuk dimiliki?”

Rahim tak pernah memperdebatkan tentang siapa jagoan-jagoan kecil yang berhasil menerobos satu singgasana kokoh yang menunggu malu-malu. Kau bisa sungkan jika ‘keluar’ lebih dahulu. Tapi memangnya kenapa kalau ketahuan mencintai lebih dalam?

“Iya. Saya mencintaimu lebih dalam.”

Tiba-tiba si lelaki menanya sesuatu yang membuat si perempuan terdiam.

Tidak bisakah kau membuat aku tenang barang sebentar? Batin si perempuan. Aku sudah lelah marah. Aku sudah bosan pada kekecewaan dan kemurkaan tetapi masih harus kupendam agar tak meluap.  

Bahkan si lelaki tak pernah berani menuntaskannya ‘di dalam’. Senikmat apapun mereka bercinta, dia terlalu takut menerima resiko yang entah seperti apa nantinya. Sementara si perempuan menyisir rambutnya sambil tersenyum getir.

“Wajar kan kalau aku ketakutan? Kau tak pernah tahu apa yang terjadi di dalam rahimku, sama seperti aku yang tak pernah tahu apa yang akan terjadi di dalam hatimu. Bukankah sama?”, kata si perempuan memakai kembali pakaiannya.


............................

Kalau begini saja sudah nyaman, tak perlu bertanya macam-macam, maka aku tak akan berfikir yang tidak kita harapkan.

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Perempuan dalam Kamar

"Mas, bangun. Jam piro iki.". Sirine macam apa itu yang mampu membuat jiwaku yang sedang melayang-layang langsung kembali ke peraduannya. Oh, rupanya suara ibuku. Sudah pukul setengah tujuh pagi. Entah berapa jam bersama perempuan itu, sampai aku dibuatnya menyerah. Mataku berat, tapi cukup dapat melihat celanaku sudah basah. Lalu aku bangkit dan menuju kamar mandi. Menyirami sisa-sisa peluh bekas gulatan tadi malam. Di kantor sebelum jam makan siang. Ketika melewati lobi, aku melirik ke lekuk wajah perempuan di belakang meja kerjany. Entah menyadari lemparan pandanganku atau memang dia juga ingin menatapku, sedetik kemudian mata kami beradu. Dia tersenyum manis, sangat manis, seperti senyum yang aku lihat dalam cumbuan itu. Aku melangkah mendekat, sembari mengingat isi dompet yang mungkin cukup untuk mengajaknya makan siang bersama. Tinggal beberapa meter, tapi sialnya... "Ayo kita makan.". Rekan kerjaku mengecup mesra keningnya. Mereka bangkit, melengga...

100 Hari Tanda Orang Mau Meninggal

Innalillahi wa innailaihi rojiun, datang dari Allah dan selalu kembali kepada-Nya, semoga kita selalu menjadi orang-orang yang selalu mengingat-Nya dan beruntung serta saling mengingatkan. Tanda 100 hari mau meninggal…. Ini adalah tanda pertama dari Allah kepada hamba-Nya dan hanya akan disadari oleh mereka yang dikehendaki-Nya. Walau bagaimanapun semua orang Islam akan mendapatkan tanda ini, mereka ada yang sadar dan ada yang tidak. Tanda ini akan berlaku lazimnya sholat Ashar. Seluruh tubuh yaitu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki akan mengalami getaran atau seakan-akan menggigil. Contohnya seperti daging lembu yang baru disembelih dimana jika diperhatikan dengan teliti. Kita akan mendapati daging tersebut seakan-akan bergetar. Tanda ini rasanya lezat dan bagi mereka yang sadar dan berdetik dihati bahwa mungkin ini adalah tanda mati, maka getaran ini akan berhenti dan hilang setelah kita sadar akan kehadiran tanda ini. Bagi mereka yang tidak diberi kesadaran atau merek...