Skip to main content

Sebelum Lumpur Mengerak

Malam padam diguyur hujan lewat. Gelisah melengkung di wajah mendung ngelangut. Kamu memutar ulang memoar bertalu dan menggiring kejam ingatan selintas ke masa lalu. Kamu yang menyelinapi mimpi tanpa tidurku semalam. Dan kamu. Kamu tidur di sisiku sekarang dengan begitu banyak pesan manis memuakkan di ponselmu dari gadis lain yang entah keberapa.

Dini hari ini, dalam lelapmu dan nafas yang terasa di balik punggungku, kamu seperti begitu berjarak padahal hanya satu kedipan mataku. Jika saja jejak mampu bercerita, ia akan ditikam kebisuan dalam beku lidah. Baik jejak maupun lidah, keduanya tak mampu mengurai apa saja yang sudah kita lewatkan. Apakah terlampau banyak? Atau terlalu lama kita menyadari bahwa sebenarnya kita saling membutuhkan?

Aku pernah melepasmu untuk apapun yang bisa membuatmu merasa cukup bahagia. Aku pernah dipaksa merelakanmu dan diharuskan bersikap baik-baik saja.  Kemudian kamu kembali. Kamu kembali dengan beberapa pelarian yang masih mengikuti. Ibarat hendak pulang, kamu masih menyisakan lumpur-lumpur di kakimu setelah berjalan kesana-kemari.

"Bersihkan kakimu.” Aku membukakan pintu.

Kamu memaksa untuk masuk.

“Bersihkan kakimu dulu.”

"Akan kubersihkan kakiku asal kau memastikan aku boleh masuk.”

Aku diam dan mengangguk.

Bagaimana mungkin dapat menipu jiwa dan mengisi hatiku dengan yang lain? Sementara kamu telah memenuhi dan melukisnya tak mau lalu dari sana. Kamu dan beberapa hal yang belum terselesaikan kembali untuk meminta penebusan.

Aku sudah pernah drama. Aku sudah lelah murka. Karena pada akhirnya kemurkaan hanya sebuah kedukaan paling dalam akan sisa cinta yang entah harus dibuang kemana.

“Masuklah. Jangan pergi seenaknya lagi.”

"Aku sudah takut pergi. Aku tak membawa kunci. Aku takut kelak pintu itu tidak mau terbuka lagi.” Kamu menunduk.

Syukurlah. Kamu mengerti bagaimana menghargai hal yang sudah kamu dapatkan. Bersetialah, anggap itu upaya berterima kasih karena Tuhan telah mempertemukan kita untuk kesekian kalinya lagi.

“Gadis itu bagaimana?” Sekuat hati aku menahan agar tak ada satupun tetesan air dari biduk mataku.

“Entahlah. AKu sudah tahu kemana tujuanku sekarang.” Kamu menatapku lekat. 

Mau bermain kemana saja, seorang pria akan tahu kemana dia harus pulang. Pastikan kamu tidak meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan.


Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan...