Malam
padam diguyur hujan lewat. Gelisah melengkung di wajah mendung ngelangut. Kamu
memutar ulang memoar bertalu dan menggiring kejam ingatan selintas ke masa lalu.
Kamu yang menyelinapi mimpi tanpa tidurku semalam. Dan kamu. Kamu tidur di
sisiku sekarang dengan begitu banyak pesan manis memuakkan di ponselmu dari
gadis lain yang entah keberapa.
Dini
hari ini, dalam lelapmu dan nafas yang terasa di balik punggungku, kamu seperti
begitu berjarak padahal hanya satu kedipan mataku. Jika saja jejak mampu
bercerita, ia akan ditikam kebisuan dalam beku lidah. Baik jejak maupun lidah,
keduanya tak mampu mengurai apa saja yang sudah kita lewatkan. Apakah terlampau
banyak? Atau terlalu lama kita menyadari bahwa sebenarnya kita saling membutuhkan?
Aku
pernah melepasmu untuk apapun yang bisa membuatmu merasa cukup bahagia. Aku
pernah dipaksa merelakanmu dan diharuskan bersikap baik-baik saja. Kemudian kamu kembali. Kamu kembali dengan beberapa
pelarian yang masih mengikuti. Ibarat hendak pulang, kamu masih menyisakan
lumpur-lumpur di kakimu setelah berjalan kesana-kemari.
"Bersihkan
kakimu.” Aku membukakan pintu.
Kamu
memaksa untuk masuk.
“Bersihkan
kakimu dulu.”
"Akan
kubersihkan kakiku asal kau memastikan aku boleh masuk.”
Aku
diam dan mengangguk.
Bagaimana
mungkin dapat menipu jiwa dan mengisi hatiku dengan yang lain? Sementara kamu
telah memenuhi dan melukisnya tak mau lalu dari sana. Kamu dan beberapa hal
yang belum terselesaikan kembali untuk meminta penebusan.
Aku sudah pernah drama. Aku sudah lelah murka. Karena pada akhirnya kemurkaan hanya sebuah kedukaan paling dalam akan sisa cinta yang entah harus dibuang kemana.
Aku sudah pernah drama. Aku sudah lelah murka. Karena pada akhirnya kemurkaan hanya sebuah kedukaan paling dalam akan sisa cinta yang entah harus dibuang kemana.
“Masuklah.
Jangan pergi seenaknya lagi.”
"Aku
sudah takut pergi. Aku tak membawa kunci. Aku takut kelak pintu itu tidak mau
terbuka lagi.” Kamu menunduk.
Syukurlah.
Kamu mengerti bagaimana menghargai hal yang sudah kamu dapatkan. Bersetialah,
anggap itu upaya berterima kasih karena Tuhan telah mempertemukan kita untuk
kesekian kalinya lagi.
“Gadis itu bagaimana?” Sekuat hati aku
menahan agar tak ada satupun tetesan air dari biduk mataku.
“Entahlah. AKu sudah tahu kemana
tujuanku sekarang.” Kamu menatapku lekat.
Mau bermain kemana saja, seorang pria
akan tahu kemana dia harus pulang. Pastikan kamu tidak meninggalkan rumah dalam
keadaan berantakan.
Comments
Post a Comment