Skip to main content

Tak Se-Instan Mie Goreng


“Kamu itu seperti mie goreng. Mau seenak apapun lauk yang ada, pas ngelirik kamu tetep aja berselera”. Suara seraknya sedikit berbisik di telinga kananku.

Aku mencubit kecil perutnya yang sedikit buncit hingga dia menggeliat kesakitan. Suara tawa kami tertelan hujan sore ini. Dia, si pria manis ini melemparkan pandangan padaku tanpa bicara. Sementara aku masih sibuk menghabiskan sepiring mie goreng dengan taburan abon. Belum selesai suapan terakhir, saat itu ponselku berbunyi.


“Hallo.., udah makan?”

“Ini lagi makan.”, jawabku sembari mencoba menelan makanan di dalam mulut.

“Makan sayur, jangan mie instan terus.”

“Iya, yowes aku makan dulu.”

Klik. Aku matikan sambungan telefon. Pria di sampingku membuang muka. Dia menyeruput segelas teh hangat lalu bangkit berdiri tanpa menoleh ke arahku.

“Yuk balik.”

Aku mengekor langkahnya keluar warung makan. 

Di sepanjang trotoar tempat kami berjalan berdampingan pun pria manis ini tidak bicara. Tiba di ruangan yang hanya ada kami berdua. Dia meraih pinggangku. Aku lupa apa sudah menutup rapat pintu saat bibir kami beradu.  Beberapa saat dan dering telefon merenggangkan pelukannya. Kami keluar ruangan sambil menahan tawa. Di halaman kantor, ada seorang wanita berdiri di samping mobil berwarna merah menyala. Dia tersenyum ke arah kami. Pria manis ini melambaikan tangan pada wanita itu lalu berjalan mendahuluiku.


Aku mengetuk-ngetukkan jari pada setir mobil. Terlihat cincin yang melingkar di jari manis tangan kiriku. Kerinduan pada sang kasih muncul. Jika jalannya lancar, akhir tahun ini aku akan dipersunting. Sekelebat ingatan tentang pria manis itu terselip. Bayangan akan kejadian di kantor tadi bertabrakan dengan janji yang masih tergenggam.

Tiba-tiba di jalan tak jauh dari kompleks pertokoan, aku melihat kekasihku. Tidak asing. Yang asing adalah wanita di boncengannya. Jantungku seperti tertikam. Aku rapatkan laju mobilku dan berhenti disisinya. Sang kasih melihatku heran. Belum sempat sebuah tamparan aku daratkan, wanita di boncengannya itu menyapaku.


“Mbak, maaf. Tadi masku bannya bocor. Jadi aku minta tolong untuk diantar pulang. Maaf sekali, Mbak.”

“Iya yang. Aku cuma nganter pulang. Maaf nggak pamit, aku takut kamu mikir yang aneh-aneh.”


Pikiranku kacau, mataku basah. Entah apa jadinya aku jika kami, aku dan kekasihku bertukar posisi dengan dia yang beradu bibir dengan perempuan lain. Jika melihat dia di dekat wanita lain saja aku tidak sanggup. Aku menangis sejadi-jadinya dipelukan kekasihku.


“Maaf yang. Aku salah.”


Aku diam saja, aku tak mau pelukan ini lepas. Tak mau.


Beberapa hari di kantor aku mencoba menjauhkan diri dari apa yang mungkin mengganggu hubungan kami. Ada kalanya seseorang itu bosan dengan situasi sebuah hubungan, tapi berkhianat bukan jalan keluarnya. Semenarik apapun orang lain seperti mie goreng diantara sekian banyak lauk, makan apa yang boleh kamu makan, bukan semua yang kamu inginkan. Atau perutmu akan sakit sendiri.


“Apa kabar pacarmu?”, si pria manis mensejajari langkahku keluar kantor.

“Baik. Apa kabar pacarmu?”.

Si pria manis diam saja. Aku berlari kecil menuju seorang pria yang telah menungguku di luar sana. 


 “Hanya aku saja.”, kataku sambil meraih tangan kekasihku.

 “Hanya aku saja.”, kekasihku balik berkata.


Aku memeluknya dan berjalan masuk mobil. Si pria manis berdiri diam di kejauhan sana.


Batas kebahagiaan seseorang adalah kesedihan orang lain. Siapapun berhak bahagia dengan caranya, selama tidak ada orang lain yang dikorbankan. Dan aku sadar bahagiaku itu dengan kamu. Kamu yang saat ini ada disisiku. Bukan dia atau siapa yang numpang lewat di duniaku. Yang sulit itu bukan membuat orang tertarik padamu, tapi membuat orang yakin untuk menghabiskan hidupnya bersamamu. Karena cinta itu dibangun, tak seinstan Mie goreng :)

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Perempuan dalam Kamar

"Mas, bangun. Jam piro iki.". Sirine macam apa itu yang mampu membuat jiwaku yang sedang melayang-layang langsung kembali ke peraduannya. Oh, rupanya suara ibuku. Sudah pukul setengah tujuh pagi. Entah berapa jam bersama perempuan itu, sampai aku dibuatnya menyerah. Mataku berat, tapi cukup dapat melihat celanaku sudah basah. Lalu aku bangkit dan menuju kamar mandi. Menyirami sisa-sisa peluh bekas gulatan tadi malam. Di kantor sebelum jam makan siang. Ketika melewati lobi, aku melirik ke lekuk wajah perempuan di belakang meja kerjany. Entah menyadari lemparan pandanganku atau memang dia juga ingin menatapku, sedetik kemudian mata kami beradu. Dia tersenyum manis, sangat manis, seperti senyum yang aku lihat dalam cumbuan itu. Aku melangkah mendekat, sembari mengingat isi dompet yang mungkin cukup untuk mengajaknya makan siang bersama. Tinggal beberapa meter, tapi sialnya... "Ayo kita makan.". Rekan kerjaku mengecup mesra keningnya. Mereka bangkit, melengga...

100 Hari Tanda Orang Mau Meninggal

Innalillahi wa innailaihi rojiun, datang dari Allah dan selalu kembali kepada-Nya, semoga kita selalu menjadi orang-orang yang selalu mengingat-Nya dan beruntung serta saling mengingatkan. Tanda 100 hari mau meninggal…. Ini adalah tanda pertama dari Allah kepada hamba-Nya dan hanya akan disadari oleh mereka yang dikehendaki-Nya. Walau bagaimanapun semua orang Islam akan mendapatkan tanda ini, mereka ada yang sadar dan ada yang tidak. Tanda ini akan berlaku lazimnya sholat Ashar. Seluruh tubuh yaitu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki akan mengalami getaran atau seakan-akan menggigil. Contohnya seperti daging lembu yang baru disembelih dimana jika diperhatikan dengan teliti. Kita akan mendapati daging tersebut seakan-akan bergetar. Tanda ini rasanya lezat dan bagi mereka yang sadar dan berdetik dihati bahwa mungkin ini adalah tanda mati, maka getaran ini akan berhenti dan hilang setelah kita sadar akan kehadiran tanda ini. Bagi mereka yang tidak diberi kesadaran atau merek...