Skip to main content

Sepatu, dicumbu belenggu, dan kamu

Kamu disakitin tetap mau, kamu dikasari tetap mau, kamu dibuang begitu saja apa juga akan tetap mau? Itu cinta atau bodoh?

Tanganku gemetar memeras handuk kecil di atas baskom. Tetesan air bergemericik terjatuh seiring bulir-bulir tangis dari sudut mataku. 
“Aduh..”, teriakku lirih ketika permukaan handuk itu kutekankan ke pipi. Ada gradasi merah biru di sana. Seperti rona pungkasan senja tadi saat kamu melukiskan warna bekas memar. 
Seorang sahabat melihatku iba. “Kenapa bisa sampai seperti ini?”.
Aku tersenyum hambar dan menggeleng. Kemarahanmu membuahkan lukisan di wajahku. Aku kehabisan kata.

 Sore tadi, satu jam sebelum ada luka ini.

“Sebentar kok. Cuma nyerahin berkas.”, ucapku padamu yang berdiri di sisi kendaraan.
“Yaudah aku tunggu.”. Kamu sedikit menggigil. Bajumu basah terkena air hujan.
Aku berlari masuk gedung bertingkat itu menyelesaikan beberapa urusan. Hadeh, sedikit kerepotan dengan sepatu hak tinggi yang aku pakai. Sungguh, aku tak nyaman. Setengah jam kemudian aku keluar terburu-buru karena tak enak pada kamu yang sudah menunggu. Aku lihat kamu melepas jaketmu.
“Kurang lama.”, katamu ketus.

Oh Tuhan, ini hanya urusan kantor selama setengah jam. Aku ingat ayahku tak pernah mengeluh ketika mengantarku kemanapun. Hingga terjadi beberapa keributan kecil sesampainya dirumah dan ada tamparan ini. Aku pulang dalam diam.

Selemah apapun seseorang, dia pasti tak ingin dipukul. Hanya ada dua pilihan, menjadi keras  untuk mempertahankan diri atau membalas pukulan tersebut. Ketika kamu memutuskan untuk mempertahankan diri, lantas kapan dia berhenti memukulmu? Apa terus seperti itu? Sementara ketika kamu memilih untuk membalas pukulannya. Ada sekeping hati menyimpan rasa tidak tega, itu pasti. Karena menjadi keras seperti apapun nyatanya kamu pernah mencintainya. Aku tidak membalas rasa sakit itu. Aku pun tidak berdiam diri hanya untuk terus menahan dan bertahan. Aku memilih menyingkir perlahan. Menjauh hingga tanganmu tidak lagi sampai mengenaiku.

Kamu seperti sepatu hak tinggi. Yang memperlihatkan kemasan menarik diluarnya namun menyakitkan perlahan dari dalam. Kenapa harus dengan sepatu hak tinggi, kalau aku bisa memakai converse bahkan sepatu gunung dengan nyamannya. Aku melempar sepatu siksaan itu ke lantai. Hantaman ujung-ujung hak pada keramik putih membuat seberkas goresan tipis. Laksana hati yang bersisakan retak dimana-mana. Aku menapakkan kaki pelan-pelan. Kaki telanjangku tergelitik dinginnya lantai kamar kamar. Sungguh, ini dingin yang tak seperti biasanya. Geli, lega, sedikit perih diantara memar-memar merah tumit dan ibu jari. Aku berjinjit, menari, mengayun, melompat, lalu berdiri tegak. Aku bisa berjalan dengan leluasa sekarang. Sepatu itu teronggok lemah kehilangan pemiliknya.

Hallo kamu, aku sudah melepasmu, lebih tepatnya mencoba untuk melepasmu.

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Perempuan dalam Kamar

"Mas, bangun. Jam piro iki.". Sirine macam apa itu yang mampu membuat jiwaku yang sedang melayang-layang langsung kembali ke peraduannya. Oh, rupanya suara ibuku. Sudah pukul setengah tujuh pagi. Entah berapa jam bersama perempuan itu, sampai aku dibuatnya menyerah. Mataku berat, tapi cukup dapat melihat celanaku sudah basah. Lalu aku bangkit dan menuju kamar mandi. Menyirami sisa-sisa peluh bekas gulatan tadi malam. Di kantor sebelum jam makan siang. Ketika melewati lobi, aku melirik ke lekuk wajah perempuan di belakang meja kerjany. Entah menyadari lemparan pandanganku atau memang dia juga ingin menatapku, sedetik kemudian mata kami beradu. Dia tersenyum manis, sangat manis, seperti senyum yang aku lihat dalam cumbuan itu. Aku melangkah mendekat, sembari mengingat isi dompet yang mungkin cukup untuk mengajaknya makan siang bersama. Tinggal beberapa meter, tapi sialnya... "Ayo kita makan.". Rekan kerjaku mengecup mesra keningnya. Mereka bangkit, melengga...

100 Hari Tanda Orang Mau Meninggal

Innalillahi wa innailaihi rojiun, datang dari Allah dan selalu kembali kepada-Nya, semoga kita selalu menjadi orang-orang yang selalu mengingat-Nya dan beruntung serta saling mengingatkan. Tanda 100 hari mau meninggal…. Ini adalah tanda pertama dari Allah kepada hamba-Nya dan hanya akan disadari oleh mereka yang dikehendaki-Nya. Walau bagaimanapun semua orang Islam akan mendapatkan tanda ini, mereka ada yang sadar dan ada yang tidak. Tanda ini akan berlaku lazimnya sholat Ashar. Seluruh tubuh yaitu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki akan mengalami getaran atau seakan-akan menggigil. Contohnya seperti daging lembu yang baru disembelih dimana jika diperhatikan dengan teliti. Kita akan mendapati daging tersebut seakan-akan bergetar. Tanda ini rasanya lezat dan bagi mereka yang sadar dan berdetik dihati bahwa mungkin ini adalah tanda mati, maka getaran ini akan berhenti dan hilang setelah kita sadar akan kehadiran tanda ini. Bagi mereka yang tidak diberi kesadaran atau merek...