Skip to main content

Qori


"Kau kenal pria itu? Pria yang wajahnya mejeng di setiap poster-poster pinggir jalan. Bahkan tergantung di pohon kamboja makam." Aku menunjuk wajah kader partai yang tercetak di spanduk lengkap dengan nomornya.

Kawanku tersenyum dengan ujung bibir terangkat sebelah. 

.................................

Qori, dia adikku. Hampir setiap kepindahan sekolah, kawan-kawan menertawakan kami. Saturasi warna kulit yang jauh berbeda membuat aku terlihat seperti anak babu sementara dia majikannya. Pernah sekali aku meludahi anak laki-laki yang menghina mata sipit Qori dengan umpatan "Ciduk", sementara Qori hanya diam menunduk.

Qori memang tak pernah bicara pada siapapun. Bahkan padaku. Dia hanya bicara pada ibu sesekali waktu. Dia bisu tapi tak tuli. Dia memorikan semua makian anak-anak tetangga lalu mencatatkannya pada sebuah buku kecil yang tersembunyi di bawah kasur.

Di tahun keempatku bersekolah, seseorang berseragam hitam-hitam datang ke rumah. Menyuruh kami pindah ke rumah lain yang halamannya jauh lebih luas, yang televisinya jauh lebih lebar sampai rengkuhan tanganku saja tak bisa mencapai diagonalnya.

Siang itu, ibu sedang menyuapiku dan Qori. Tiba-tiba ibu berdiam diri ketika sebuah berita di tayangkan. Aku tak tahu siapa bapak berjas dan berkacamata yang selalu ibu lihat lama saat wajahnya muncul di layar kaca.

.................

"Ibuku dulu seorang penyanyi. Dia cantik. Bahkan ketika aku kecil digandengnya di belakang panggung, beberapa laki-laki masih saja menggodanya," katanya sambil menghembuskan asap rokok di sisi dua makam yang berjejeran.

"Ini bekasnya." Dia menunjuk bekas luka jahitan di pelipis kiri akibat kecelakaan bertahun-tahun silam. Kecelakaan yang merenggut nyawa ibunya dan Qori. Kecelakaan yang bahkan aparat saja gagu ketika ditanyai penyebabnya.

Katanya, dia pernah bertanya ketika perut ibunya sudah lebih besar dari perut kekenyangan.

"Ibu, kenapa ayah tak pernah kembali dari pertempuran? Kata temanku ayah mati tertembus peluru?" Tanyanya tertelan suapan nasi yang hampir saja dia muntahkan, tiba-tiba mata ibunya menatap lama. "Diamlah, kalau kamu ingin ibu dan adikmu tetap hidup"

Lalu dia pun dibisukan keadaan.

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan...