Skip to main content

Guguran Bunga Kamboja

Setiap yang hidup pasti akan mati. Seperti sepasang cover buku di pangkuangku sore ini. Begitu memutuskan membuka, suatu saat pasti akan ada waktu dimana aku selesai membaca dan memutupnya kembali. Begitupun kamu. Begitupun aku. Kita ini tokoh dari lembaran kisah dengan Tuhan sebagai Sang Maha Sutradara. Bermainlah, berperanlah. Hingga kamu harus turun dari panggung karena waktumu sudah usang. Beberapa dari mereka takut akan kematian. Mungkin karena tak ada yang tau pasti apa yang terjadi setelahnya.

Bagiku, itu sebuah kejutan paling besar. Tak ada yang lebih membuat penasaran daripada apa yang akan ku dapati setelah fase itu terlewati. Menuju apa yang dikatakan orang abadi.

Sore di Pemakaman tak jauh dari rumah. Dua nisan terjejer kaku di depanku. Kadang aku merasa wajah seseorang yang terbaring di bawahnya tampak begitu dekat saat aku menatap patrian nama di nisan itu. Samar-samar terdengar langkah kaki dan riuh orang. Di ujung sana ada yang hendak dimakamkan. Isak tangis, lantunan doa, dan beberapa bapak-bapak yang sibuk mempersiapkan liang. Tak jauh beda saat eyang wafat bertahun-tahun lalu. Mungkin begitu pula rahasia pilu dibalik nisan-nisan lain di sini. Tak lama pemakaman selesai dan satu per satu orang kembali ke kehidupan dunianya.

Dibalik kerumunan ada seorang nenek membawa karung plastik. Dia punguti guguran-guguran bunga cemara diantara tanah-tanah kering pemakaman. Banyak guguran yang ia tinggalkan karena karungnya sudah mulai penuh. Dia tertatih melewati sela-sela makam. Tangan rapuhnya berpegangan pada ujung-ujung nisan. Dia bukan peminta-minta. Bahkan dia biarkan peziarah berlalu begitu saja. Dia hanya pemungut bunga kamboja.

Beberapa hari berlalu dalam sore yang masih sama. Pemakaman, ketenangan, kerinduan, ketakutan, dan wanita tua pemungut bunga kamboja. Kemana anak cucunya? Bukankah di usia itu seharusnya dia berkumpul bersama sanak keluarga? Diantara kebisuan, bunga kamboja sedang mekar-mekarnya. Sama halnya semangat wanita tua yang masih merona di balik tubuh rentanya.

Sore ke sekian. Angin hari ini seperti membawa tiupan luka. Sudah senja tapi wanita tua dan karungnya tak nampak. Mungkin siang tadi karungnya sudah penuh dan dia kembali ke rumah. Atau mungkin dia sedang tidak memunguti guguran kamboja hari ini. Apakah sudah kemarau atau memang hari ini bunga kamboja tak semekar biasanya? Ternyata di antara keringnya kamboja, ada satu makan baru di ujung sana. Kambojamu gugur jua.

Published with Blogger-droid v2.0.10

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan...