Skip to main content

hanya peminjam korek api


Jam 9 malam, di hari pertama


Aku duduk di halte 034 jalur utara Jalan Sudirman.  Mengatur nafas sambil memandangi layar ponsel yang sedari tadi tak bergeming. Aku mengambil bungkus rokok dari dalam saku jaketku. Sisa dua. Aku comot satu dan menggapitnya dengan bibirku. Ku rogoh kesemua kantung bajuku mencari-cari korek api. Tidak ada. Aku lupa dimana meletakkannya. Lalu seorang pria paruh baya mengulurkan tangannya yang menggenggam sebuah korek api. Aku menatapnya lama. Sepertinya dia pria baik. Mungkin ia seusia dengan ayahku. Mantelnya terlampau tebal untuk suhu kota yang dinginnya masih bisa ditoleransi. Sepatunya tampak lusuh dengan beberapa bercak lumpur kering diujung-ujungnya. Wajah berjenggot tipisnya tersenyum menampakkan deretan gigi terawat yang jelas bukan gigi seorang perokok. Lantas kenapa ia membawa korek api? Aku pun tersenyum dan meraihnya. Korek api semerah rubi dengan pematik besi berwarna keemasan. Indah sekali. Setelah hembusan pertama rokokku, aku mengembalikan korek apinya dan berterima kasih. Tiba-tiba ponselku berdering.


“Hallo... iya.. yaudah... ha? Engga. Ta.. tapi. Maaf. Tapi..”, terputus dan aku belum selesai bicara. Aku menghela nafas. Sang kekasih selalu begitu. Marah tiba-tiba, menyalahkan aku tiba-tiba, lalu mematikan telefon tiba-tiba.


“Baru pulang kerja dek?” , pria paruh baya itu mulai bersuara.

“Iya pak.”, aku mengangguk

“Kamu seumuran dengan anak bapak.”, dia menatapku tulus. Lalu bercerita tanpa diminta. Tentang anak perempuannya yang mugkin saat ini sudah sebesar aku jika masih ada. Penyakit jantung telah mengantar dia pulang ke Yang Maha Kuasa. Aku mendengarkan sambil sesekali mengerutkan alis iba.


Beberapa hari berlalu, pria itu selalu menunggu di halte yang sama, di jam yang sama denganku. Hanya saja bis yang aku tumpangi selalu datang lebih dahulu. Pernah sekali aku biarkan bisku terlewat untuk tau bis apa yang pria itu naiki. Tapi bis yang dia tunggu tak kunjung datang katanya. Aku sempat membagi ceritanya dengannya tentang pekerjaanku, deadline, kuliahku yang tercecer, hingga tuntutan keluarga dan hubungan asmara yang tidak sedang berjalan baik. Dia tak sungkan menasehati layaknya seorang bapak kepada anaknya. Dalam setiap cerita aku kerap meminjam korek apinya. Entahlah, tapi aku selalu saja lupa dimana menetakkan korek apiku.


Di hari itu mataku sembab. Pertengkaran hari ini cukup kuat menjebol kantung air mataku. Aku tidak konsen bekerja. Selalu saja begini. Ketika ada masalah dengan hati seolah ragaku menjadi lemah. Siang tadi, sang kekasih marah untuk kecemburuanku. Sampai dia mematikan ponsel dan menghindar. Sementara aku hanya ingin di dengar. Pria paruh baya itu sudah disana. Kembali meminjami korek api dan mendengarkanku dengan bijak. Aku menatap ke langit dan menerawang. Wajah sang kekasih tergambar jelas dalam kepulan-kepulan yang aku hisap. Lalu lenyap disapu angin dari kendaraan yang berlalu lalang. Aku menyeka sisa tangis dipipiku.

“Berhentilah.”. Bapak itu berkata dengan nada suara berat.

Belum sempat dia selesai bicara, bis penjemputku tiba.



Jam 9 malam, entah hari ke berapa


“Kita sudahi saja sampai disini,.”

Tangisku pecah. Apa yang kudengar baru saja itu nyata? Aku berjalan gontai keluar dari kantor. Duduk termenung di halte bis seorang diri. Tunggu, dimana pria yang biasanya disini?

Setengah jam aku berdiam diri. Kemudian tanganku merogoh benda di saku yang biasanya aku lupa. Korek apiku. Pematiknya sedikit berkarat tapi masih cukup kuat. Serasa sudah lama aku tidak memakainya karena seringnya lupa meletakkan. Aku mencoba menyalakan rokok terakhirku hari ini. Lalu bayangan pria itu hadir dan ingatanku kembali pada sebuah kalimatnya. “Putriku pergi karena benda itu. Sebelum kamu menyayangi orang lain, tidak bisakan kamu menyayangi dirimu sendiri.”.

Mataku memindai tiap sudut korek api kecilku. Suara gesekan ibu jari dan besi pematik itu beradu lirih. Nyalanya terang, bahkan lebih terang dari korek api yang pernah aku pinjam sebelumnya. Tak ada rokok yang aku hirup, aku hanya menatap apinya. Sang kekasih semangatku telah hilang, seperti pria paruh baya dengan korek apinya. Kupenuhi rongga dadaku dengan sebuah tarikan nafas panjang dan menghembuskannya pelan.


Kadang kamu perlu meminjam korek api orang lain untuk menyalakan rokokmu. Tapi ingat, hanya meminjam dan kamu pun akan mengembalikannya kemudian. Cobalah menyalakan apimu sendiri. Sama halnya jangan pernah bersandar pada orang lain, kamu akan sakit ketika dia sudah tidak lagi menyediakan pundaknya.


Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Taraa.. This is Tribal Trends

“Sist, aku mau crop tribalnya ya. Ready kapan?”             Yang gila fashion pasti tau dong motif tribal. Motif tribal lagi happening nih. Para desainer juga lagi berlomba-lomba buat menciptakan busana dengan motif tribal. Mulai dari sekadar kaus, rok, blazer, tas, turban, wedges, sampai garskin! Tapi tau nggak sih gimana asal- usul si tribal ini? Penasaran? Let see… Tribal dalam arti kata bahasa inggris artinya kesukuan. So, tribal mencerminkan tentang motif kesukuan seperti gambar rusa, pohon, dll. Hampir mirip sama Indian style tapi bedanya Tribal lebih menonjolkan corak garis garis yang sejajar dan lebih bermacam warna. Sedangkan Indian Style cenderung berwarna gelap dan cokelat. Nah, karena tribal merupakan motif kesukuan berarti motif-motif khas daerah di Indonesia juga bisa dikategorikan sebagai motif tribal. Motif tribal ala Indonesia juga banyak banget. Ada corak suku dayak, tenun ikat, tenun todo