“Mas, air hangatnya sudah siap.”.
Lalu kubiarkan kau melucuti satu per satu peluh bekerja seharian.
Ketika belum habis air kau
guyurkan dari dalam gayungnya, kau menarikku serta. Tidak lelahkah? Pikirku.
Tiba-tiba...
Plaaaaak
Semua
memaku ketika telapak tanganmu mendarat keras diantara pipi kiriku.
Dinding-dinding menjerit mengutuk beberapa detik, ketika kepingan-kepingan yang
dibangun percaya kau luluh lantahkan seketika.
Kau
tumpahkan air yang kau kira terlalu panas sampai membakar amarah dan menyambarkannya
ke ulu hatiku. Aku tau kita terkontradiksi serupa mata uang dengan dua
sisi. Jadi tolong, cukup kali ini saja tahan sebentar bengismu dan dengarkan
aku. Satu satu sajakku terbeku mendendam,
berhutanglah jiwa pada hampa ruang. Ah engkau pasti tak tau. Belum
cukupkah kesakitan tanpa iba itu. Betapa telah engkau berikan rasa.
Tetapi
begitu mudah engkau menumpahkan pilu diantaranya. Diamku
menerima kesakitan. Ketika jiwa adalah "kita". Kukutuki
kebodohan untuk mau tersiksa.
Sejak itu aku tak pernah lagi bertegur sapa pada
sunyi dan kembarannya, sepi. Kelak semoga engkau menemu tau,
seberapa ngilu ketika bejana tangisku ditumpahi egomu. Manapula ia sempat sampaikan tundaan pesan. Sebab parit kali
gorong gorong sungai telah menyamudera. Memeluk nyeret apa saja. Hingga bangkai
bangkai kecoa.
Dibalik riak-riak air kran yang menggoda
untuk langsung kau nyalakan jika memang terlalu panas, aku berujar. Semoga saja
lumpur tertinggal kali ini menjadi humus. Lalu beranjak bangkit tanpa menyisakan suara, serupa ratap tanpa airmata.
Comments
Post a Comment