Skip to main content

Meneriaki Riak


“Mas, air hangatnya sudah siap.”. Lalu kubiarkan kau melucuti satu per satu peluh bekerja seharian.


Ketika belum habis air kau guyurkan dari dalam gayungnya, kau menarikku serta. Tidak lelahkah? Pikirku. Tiba-tiba...


Plaaaaak


Semua memaku ketika telapak tanganmu mendarat keras diantara pipi kiriku. Dinding-dinding menjerit mengutuk beberapa detik, ketika kepingan-kepingan yang dibangun percaya kau luluh lantahkan seketika.


Kau tumpahkan air yang kau kira terlalu panas sampai membakar amarah dan menyambarkannya ke ulu hatiku. Aku tau kita terkontradiksi serupa mata uang dengan dua sisi. Jadi tolong, cukup kali ini saja tahan sebentar bengismu dan dengarkan aku. Satu satu sajakku terbeku mendendam, berhutanglah jiwa pada hampa ruang. Ah engkau pasti tak tau. Belum cukupkah kesakitan tanpa iba itu. Betapa telah engkau berikan rasa. Tetapi begitu mudah engkau menumpahkan pilu diantaranya. Diamku menerima kesakitan. Ketika jiwa adalah "kita". Kukutuki kebodohan untuk mau tersiksa


Sejak itu aku tak pernah lagi bertegur sapa pada sunyi dan kembarannya, sepi. Kelak semoga engkau menemu tau, seberapa ngilu ketika bejana tangisku ditumpahi egomu. Manapula ia sempat sampaikan tundaan pesan. Sebab parit kali gorong gorong sungai telah menyamudera. Memeluk nyeret apa saja. Hingga bangkai bangkai kecoa. 


Dibalik riak-riak air kran yang menggoda untuk langsung kau nyalakan jika memang terlalu panas, aku berujar. Semoga saja lumpur tertinggal kali ini menjadi humus. Lalu beranjak bangkit tanpa menyisakan suara, serupa ratap tanpa airmata.

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Taraa.. This is Tribal Trends

“Sist, aku mau crop tribalnya ya. Ready kapan?”             Yang gila fashion pasti tau dong motif tribal. Motif tribal lagi happening nih. Para desainer juga lagi berlomba-lomba buat menciptakan busana dengan motif tribal. Mulai dari sekadar kaus, rok, blazer, tas, turban, wedges, sampai garskin! Tapi tau nggak sih gimana asal- usul si tribal ini? Penasaran? Let see… Tribal dalam arti kata bahasa inggris artinya kesukuan. So, tribal mencerminkan tentang motif kesukuan seperti gambar rusa, pohon, dll. Hampir mirip sama Indian style tapi bedanya Tribal lebih menonjolkan corak garis garis yang sejajar dan lebih bermacam warna. Sedangkan Indian Style cenderung berwarna gelap dan cokelat. Nah, karena tribal merupakan motif kesukuan berarti motif-motif khas daerah di Indonesia juga bisa dikategorikan sebagai motif tribal. Motif tribal ala Indonesia juga banyak banget. Ada corak suku dayak, tenun ikat, tenun todo