Lelaki itu duduk memunggungi malam. Merapal kalimat sakti berulang-ulang. Suaranya mulai serak dikejar angin barat daya. Lalu diam, seperti terjebak elipsis kegamangan. Diantara denyut nadinya ada ritme rindu yang tertelan keangkuhan.
Aku bertaruh diri masuk alurnya. Melalui sela-sela riak yang yang bergoyang diantara kibasan ingatan. Lalu permukaan air terpecah tak beraturan. Hujankah? Bukan. Rupanya bulir bulir bening jatuh melayang dari mata sayu yang mulai lelah meruntuki rasa.
Dia terisak dihadapanku yang telanjang. Ranting-ranting pinggiran bergesek riuh lalu meneriakiku... "Wanita jalang."
Datang mereka yang mendikte dengan mulut penuh muntahan.. "Bisa apa dia jika digoda tubuh molek tanpa lindung sehelai saja.". Lelaki itu meremukkan mulut yang belum terkatup dengan sekali hempasan. Lalu menangis sejadi-jadinya.
Kamu berlomba dengan siang, untuk tau seperti apa pagi yang mencekikku pelan-pelan. Aku pernah menantang gelap, mencari makna malam. Mengajak lautan untuk pasang bersama purnamaku dan pesonanya. Tapi lihat... 1000 matahari bermunculan mengepungku dari segala penjuru. Terbakar aku menjadi bulan mati di siang terik tanpa bisa menutup malu. Aku rembulan, yang hampir mati dikoyak gunjingan. Sementara kamu, menutup ngilunya dengan utuhku masih kau genggam tanpa sela.
Comments
Post a Comment