Skip to main content

Bengawan Sore #4


“Kalau suamimu selingkuh, mbok maafin nggak?”

Glek, satu tegukan vanilla latte dingin terasa menggantung di kerongkonganku. Setelah menahan sedak, kuatur nafas dan mencoba mengikuti alur obrolan kaum hawa ini. Ditepian meja kayu bundar ini kami bertiga, aku dan kedua sahabatku sejak SMA, duduk sembari menikmati makan siang ala-ala wanita karier. Sejenak pikiranmu mengembara, mereka-reka jalan keluar topik bahasan kami kali ini. 

“Kalo aku ya pilih minta pegat. Jadi wanita karier terus besarin anak sendiri.”, aku menjawab tegas. Walau ada jelaga diantara lidahku ketika mengucapkan kalimat itu. Aku tak sampai hati jika harus mendapati Mas Gara bersama perempuan selain aku.

“Setuju. Aku juga. Anakku tak titipin simbahnya, terus aku kerja sendiri cari uang yang banyak.”, imbuh Ovi.

“Amit-amit, jangan sampai to, tak cakar-cakar perempuan yang godain bojoku nanti.”. Hana mengetuk-ngetukkan kepalan tangannya ke atas meja.

“Itu kalau perempuannya yang nakal, lha kalo bojomu yang ternyata ganjen terus sama-sama mau? Piye jal?”, Ovi menyenggol bahu Hana dengan sedikit menggoda.

“Ya Allah Gusti, Amit-Amit.”, Hana panik.

Kami semua tertawa dan melanjutkan suapan demi suapan hingga piring kami bersih.

Lepas seharian berkutat dengan pekerjaan rumah, aku merebahkan diri di sofa ruang tengah rumahku. Sementara Mas Gara belum pulang juga dari kantor. Belum lama memejamkan mata tapi tak tidur, dering ponsel mengejutkanku. Nama mas Dhika terbaca dari layarnya.

“Hallo. Ada apa mas?”, tanyaku heran mengapa Mas Dhika menelfon sore-sore begini.

“Anu dek, nnnng… besok kamu ada waktu ndak?”, suara serak Mas Dhika terdengar dari seberang sambungan telefon.

“Besok itu hari opo ya mas? Sabtu ya? Ooo.. aku selo, mas. Kebetulan Mas Gara lembur karena lagi ada proyek. Ono opo mas?”

“Mas mau ajak kamu sama Tian jalan-jalan. Mau ndak?”

“Nnng.. boleh. Kita ketemu diluar aja ya mas, biar aku naik taksi.”. Aku mengkhawatirkan pandangan para tetangga jika mas Dhika menjemputku saat Mas Gara sedang tidak berada di rumah.

Keesokan harinya kami bertemu di trotoar lapangan kota barat. Mobil hitam mengkilap sudah menepi di depanku dan Tian. Setelah kacanya terbuka wajah Mas Dhika muncul dengan raut sumringah.

“Ayo masuk.”, katanya sambil membukakan pintu tanpa beranjak dari kursi kemudi. Aku duduk di kursi depan sementara Tian di belakang sedang bermain PSPnya. Deru mobil Mas Dhika membelah jalanan Solo yang cukup padat di akhir pekan ini. Untung saja cuaca tak begitu terik, sehingga para pengguna jalan bisa sedikit berlega. 

Mas Dhika memarkirkan mobilnya di pelataran Taman Hiburan Sriwedari. Begitu melihat aneka wahana permainan, Tian langsung bersemangat.

"Buk, di Solo juga ada Dufan to? Kok aku nggak pernah kesini.", kata Tian girang.
"Dek, jangan bilang papah kalau hari ini om ajak jalan-jalan ya. Nanti takut dimarahi terus nggak boleh om ajak jalan-jalan lagi.", Mas Dhika sedikit berbisik kepada Tian. 
Tian hanya mengangguk lalu berlari mendahului kami.
Aku dan mas Dhika berjalan beriringan. Hari ini kami habiskan dengan berkeliling Solo hingga matahari tergelincir ke peraduannya. Di kursi belakang Tian sudah tertidur, mungkin saking lelahnya. 
"Mas...", kupandangi wajah manis yang hingga saat ini masih mengisi sekat-sekat di relung hatiku.
Mas Dhika menoleh tanpa bersuara. Terbersit dipikiranku andai ini benar-benar sebuah keluarga. Tentu aku akan sangat bahagia. Seperti mimpiku bertahun-tahun lalu. Kami saling menatap dalam diam, hingga kurasakan bibir kami saling beradu.

Suatu sore yang sejuk bahkan angin pun berhembus malu-malu. Mas Gara sedang duduk di teras menemani Tian bermain. 

"Dek, itu mobil remote-mu baru?", tanya mas Gara pada Tian.
"Dek, mbok ya jangan boros-boros. Yang lama kan masih bisa dipakai, kok ya beli barang yang terlalu dibutuhkan to.", mas Gara menasehatiku halus.
Tiba-tiba saja Tian menyerocos. "Pak, itu bukan ibuk yang beli, Tian dibeliin Om Dhika kemarin."

Mas Gara mengerutkan keningnya. Pandangan matanya ke arahku seketika berubah. Tanpa kusadari tanganku gemetar namun masih mencoba bersikap tenang. Tian tak salah, dia anak kecil polos yang harusnya tak teracuni pikirannya oleh kebohongan. Seperti menumpahkan butiran kerikil ke satu bak air jernih. Sekilas mungkin orang tetap merasakan tawar, tapi jika jeli didasarnya akan nampak butiran kerikil yang mencoba mengotori. 



Bersambung ke -> Bengawan Sore 5

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Barasukma (26)

"Lusa di kedai seberang gerbang, ya?" Mereka sepakat. Seorang perempuan lelah bertukar tanya jawab klise dan rayuan semu sebatas melalui pesan singkat. Tidak perlu menunggu 5 menit untuk kamu diambil lalu dibersihkan, seperti gorengan jatuh sampai dia bilang "Aduh sayang," kan? Komitmennya tak kunjung diberi temu dengan alasan yang tidak mengada-ada tapi selalu diadakan saja. Bisa karena capek kuliah, dikejar deadline laporan, bahkan pesan yang tak terbaca karena bermain game hingga larut malam lalu ketiduran. Bagaimana tidak ragu? Perempuan itu masih duduk ditemani segelas teh dengan jahe yang mengambang. Sengaja tidak dia tinggalkan pesan untuk menguji seberapa janji mereka tidak disepelekan. Sementara si pria asik cekikikan bersama rekan satu kontrakan. Bergemuruh dalam hati mereka niat masing-masing. Tanpa satu menyadari bahwa dia sedang dinanti yang lain. 2 jam berlalu. Perempuan itu tidak menangis. Marah, kesal, namun dia hanya orang