“Kalau suamimu selingkuh, mbok maafin nggak?”
Glek, satu tegukan vanilla latte dingin terasa menggantung di kerongkonganku. Setelah menahan sedak, kuatur nafas dan mencoba mengikuti alur obrolan kaum hawa ini. Ditepian meja kayu bundar ini kami bertiga, aku dan kedua sahabatku sejak SMA, duduk sembari menikmati makan siang ala-ala wanita karier. Sejenak pikiranmu mengembara, mereka-reka jalan keluar topik bahasan kami kali ini.
“Kalo aku ya pilih minta pegat. Jadi wanita karier terus besarin anak sendiri.”, aku menjawab tegas. Walau ada jelaga diantara lidahku ketika mengucapkan kalimat itu. Aku tak sampai hati jika harus mendapati Mas Gara bersama perempuan selain aku.
Glek, satu tegukan vanilla latte dingin terasa menggantung di kerongkonganku. Setelah menahan sedak, kuatur nafas dan mencoba mengikuti alur obrolan kaum hawa ini. Ditepian meja kayu bundar ini kami bertiga, aku dan kedua sahabatku sejak SMA, duduk sembari menikmati makan siang ala-ala wanita karier. Sejenak pikiranmu mengembara, mereka-reka jalan keluar topik bahasan kami kali ini.
“Kalo aku ya pilih minta pegat. Jadi wanita karier terus besarin anak sendiri.”, aku menjawab tegas. Walau ada jelaga diantara lidahku ketika mengucapkan kalimat itu. Aku tak sampai hati jika harus mendapati Mas Gara bersama perempuan selain aku.
“Setuju. Aku juga. Anakku tak titipin simbahnya, terus aku
kerja sendiri cari uang yang banyak.”, imbuh Ovi.
“Amit-amit, jangan sampai to, tak cakar-cakar perempuan yang
godain bojoku nanti.”. Hana mengetuk-ngetukkan kepalan tangannya ke atas meja.
“Itu kalau perempuannya yang nakal, lha kalo bojomu yang
ternyata ganjen terus sama-sama mau? Piye jal?”, Ovi menyenggol bahu Hana
dengan sedikit menggoda.
“Ya Allah Gusti, Amit-Amit.”, Hana panik.
Kami semua tertawa dan melanjutkan suapan demi suapan hingga
piring kami bersih.
Lepas seharian berkutat dengan pekerjaan rumah, aku
merebahkan diri di sofa ruang tengah rumahku. Sementara Mas Gara belum pulang juga dari kantor. Belum lama memejamkan mata tapi
tak tidur, dering ponsel mengejutkanku. Nama mas Dhika terbaca dari layarnya.
“Hallo. Ada apa mas?”, tanyaku heran mengapa Mas Dhika
menelfon sore-sore begini.
“Anu dek, nnnng… besok kamu ada waktu ndak?”, suara serak
Mas Dhika terdengar dari seberang sambungan telefon.
“Besok itu hari opo ya mas? Sabtu ya? Ooo.. aku selo, mas.
Kebetulan Mas Gara lembur karena lagi ada proyek. Ono opo mas?”
“Mas mau ajak kamu sama Tian jalan-jalan. Mau ndak?”
“Nnng.. boleh. Kita ketemu diluar aja ya mas, biar aku naik
taksi.”. Aku mengkhawatirkan pandangan para tetangga jika mas Dhika menjemputku
saat Mas Gara sedang tidak berada di rumah.
Keesokan harinya kami bertemu di trotoar lapangan kota barat. Mobil hitam mengkilap sudah menepi di depanku dan Tian. Setelah kacanya terbuka wajah Mas Dhika muncul dengan raut sumringah.
Keesokan harinya kami bertemu di trotoar lapangan kota barat. Mobil hitam mengkilap sudah menepi di depanku dan Tian. Setelah kacanya terbuka wajah Mas Dhika muncul dengan raut sumringah.
“Ayo masuk.”, katanya sambil membukakan pintu tanpa beranjak
dari kursi kemudi. Aku duduk di kursi depan sementara Tian di belakang sedang bermain PSPnya. Deru mobil Mas Dhika membelah jalanan Solo yang cukup padat di akhir pekan ini. Untung saja cuaca tak begitu terik, sehingga para pengguna jalan bisa sedikit berlega.
Mas Dhika memarkirkan mobilnya di pelataran Taman Hiburan Sriwedari. Begitu melihat aneka wahana permainan, Tian langsung bersemangat.
"Buk, di Solo juga ada Dufan to? Kok aku nggak pernah kesini.", kata Tian girang.
"Dek, jangan bilang papah kalau hari ini om ajak jalan-jalan ya. Nanti takut dimarahi terus nggak boleh om ajak jalan-jalan lagi.", Mas Dhika sedikit berbisik kepada Tian.
Tian hanya mengangguk lalu berlari mendahului kami.
Aku dan mas Dhika berjalan beriringan. Hari ini kami habiskan dengan berkeliling Solo hingga matahari tergelincir ke peraduannya. Di kursi belakang Tian sudah tertidur, mungkin saking lelahnya.
"Mas...", kupandangi wajah manis yang hingga saat ini masih mengisi sekat-sekat di relung hatiku.
Mas Dhika menoleh tanpa bersuara. Terbersit dipikiranku andai ini benar-benar sebuah keluarga. Tentu aku akan sangat bahagia. Seperti mimpiku bertahun-tahun lalu. Kami saling menatap dalam diam, hingga kurasakan bibir kami saling beradu.
Suatu sore yang sejuk bahkan angin pun berhembus malu-malu. Mas Gara sedang duduk di teras menemani Tian bermain.
"Dek, itu mobil remote-mu baru?", tanya mas Gara pada Tian.
"Dek, mbok ya jangan boros-boros. Yang lama kan masih bisa dipakai, kok ya beli barang yang terlalu dibutuhkan to.", mas Gara menasehatiku halus.
Tiba-tiba saja Tian menyerocos. "Pak, itu bukan ibuk yang beli, Tian dibeliin Om Dhika kemarin."
Mas Gara mengerutkan keningnya. Pandangan matanya ke arahku seketika berubah. Tanpa kusadari tanganku gemetar namun masih mencoba bersikap tenang. Tian tak salah, dia anak kecil polos yang harusnya tak teracuni pikirannya oleh kebohongan. Seperti menumpahkan butiran kerikil ke satu bak air jernih. Sekilas mungkin orang tetap merasakan tawar, tapi jika jeli didasarnya akan nampak butiran kerikil yang mencoba mengotori.
Mas Dhika memarkirkan mobilnya di pelataran Taman Hiburan Sriwedari. Begitu melihat aneka wahana permainan, Tian langsung bersemangat.
"Buk, di Solo juga ada Dufan to? Kok aku nggak pernah kesini.", kata Tian girang.
"Dek, jangan bilang papah kalau hari ini om ajak jalan-jalan ya. Nanti takut dimarahi terus nggak boleh om ajak jalan-jalan lagi.", Mas Dhika sedikit berbisik kepada Tian.
Tian hanya mengangguk lalu berlari mendahului kami.
Aku dan mas Dhika berjalan beriringan. Hari ini kami habiskan dengan berkeliling Solo hingga matahari tergelincir ke peraduannya. Di kursi belakang Tian sudah tertidur, mungkin saking lelahnya.
"Mas...", kupandangi wajah manis yang hingga saat ini masih mengisi sekat-sekat di relung hatiku.
Mas Dhika menoleh tanpa bersuara. Terbersit dipikiranku andai ini benar-benar sebuah keluarga. Tentu aku akan sangat bahagia. Seperti mimpiku bertahun-tahun lalu. Kami saling menatap dalam diam, hingga kurasakan bibir kami saling beradu.
Suatu sore yang sejuk bahkan angin pun berhembus malu-malu. Mas Gara sedang duduk di teras menemani Tian bermain.
"Dek, itu mobil remote-mu baru?", tanya mas Gara pada Tian.
"Dek, mbok ya jangan boros-boros. Yang lama kan masih bisa dipakai, kok ya beli barang yang terlalu dibutuhkan to.", mas Gara menasehatiku halus.
Tiba-tiba saja Tian menyerocos. "Pak, itu bukan ibuk yang beli, Tian dibeliin Om Dhika kemarin."
Mas Gara mengerutkan keningnya. Pandangan matanya ke arahku seketika berubah. Tanpa kusadari tanganku gemetar namun masih mencoba bersikap tenang. Tian tak salah, dia anak kecil polos yang harusnya tak teracuni pikirannya oleh kebohongan. Seperti menumpahkan butiran kerikil ke satu bak air jernih. Sekilas mungkin orang tetap merasakan tawar, tapi jika jeli didasarnya akan nampak butiran kerikil yang mencoba mengotori.
Bersambung ke -> Bengawan Sore 5
Diyaarrr!!! Konangan,.
ReplyDelete