Skip to main content

Yang belum terselesaikan...

"Kamu milikku...". Aku mendekap dia tanpa cela. Seolah tak membiarkan dinginnya hembusan air conditioner merasuk diantara degup jantung kami yang beradu. Perlahan memuai sang resah, seiring bibirku yang mulai dia buat basah. Dia sedikit terengah, aku pun. Bukan karena cumbuannya, melainkan tatapan wanita berbaju putih dan berambut panjang yang melayang di dekat pintu sana.

Lenguhan terakhir dan beberapa saat kemudian dia terlelap dengan aku didekapannya. Kubiarkan setiap malam sprei kami basah. Agar wanita itu tau betapa lelaki ini menginginkan bersamaku dan telah memilikiku. Agar wanita itu menyerah untuk menunggui ruh lelakiku tak kembali dari mimpinya. Sering saat aku terbangun di tengah malam, aku melihat wanita itu menggelitik lelakiku. Dan lelakiku tersenyum sampai keesokan paginya celananya basah.

"Kamu sakit? Akhir-akhir ini kamu pucat.", kata lelakiku masih dengan handuk yang melingkar di perutnya. Wanita itu lagi... mengekor lelakiku dari dalam kamar mandi dengan tatapan nakal yang seolah mengejekku. Selalu seperti itu. Dan lelakiku tak pernah menyadari.

Malam itu aku benar-benar dibuat gemetaran. Wanita itu menatapku murka. Tangannya hendak mencakarku tapi tak tersentuh. "Kardusnya mana?", tanya lelakiku membereskan foto Almarhumah istrinya.

..................................................

"Alhamdulillah...". Lelakiku menangis haru, dikecup dan dielusnya perutku yang masih rata. Wanita itu tersenyum. Lalu membaur diantara cahaya matahari yang mengintip dan hilang dengan hutang yang sudah terbayarkan.

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan...