Skip to main content

Dua Cangkir Kopi dalam Satu Meja Ujung


Aku mengusap wajah lalu merogoh cermin di saku tas warna peach-ku. Pantulan dalam cermin persegi kecil dengan bingkai merah muda itu tampak amat lelah. Cekungan dan gradasi cokelat di bawah mata terlihat makin kentara. Jelas saja, beberapa malam aku terus terjaga. Bercumbu dengan script-script novel dan revisi. Untung saja kafe ini cukup memberi ruang rileks ditengah kota Solo yang semakin sibuk setiap harinya. Sejak lahir aku mendiami kota ini. Aku tumbuh di kota dengan segala adat yang begitu memukau.
Aku menuju meja ujung dekat jendela di lantai satu. Kafe ini masih sama untuk beberapa tahun terakhir. Hanya pengecatan ulang yang membuat suasananya terlihat baru. Dulu, halaman depan itu masih berupa jalanan beton yang digunakan sebagai lahan parkir. Seiring bertambahnya populasi anak muda dengan kebiasaan nongkrongnya, si pemilik memutuskan meletakkan beberapa meja-meja bulat dengan bangku kayu dan tenda payung sebagai peneduhnya.
"Rin, mejanya itu udah dipesen lho.", kata seorang waiter yang aku kenal. Dia temanku semasa SMA, Tomi. Berkat Tomi aku mengenal Kafe ini. Berawal dari kebingungan mencari tempat hotspot yang cukup nyaman dua tahun lalu. Kemudian setengah tahun setelahnya, Tomi mencoba peruntungan melamar pekerjaan di sini. Sejak itu juga di kafe ini aku biasa menghabiskan waktu makan siang.
“Yah..”. Aku menyimpulkan bibir agak kecewa lalu bergeser ke meja disebelah. Tak berapa lama sepasang kekasih datang. Tunggu, aku kenal pemuda itu. Ya, itu benar kamu. Masih dengan style celana chinos kecoklatan, t-shirt, dan jaket. Kamu sempat melihatku, tersenyum sekilas, lalu mempersilahkan duduk wanita yang kamu gandeng tadi. Wanita yang sama yang kamu peluk di kamar kost Jl. Sudirman. Rupanya kamu yang memesan meja itu. Meja yang sama saat kita meneguk kopi disana. Mungkin itu terakhir aku tau jelas kabarmu. Bahkan namamu tak pernah ada di pesan masukku tepat setelah hubungan kita berakhir. Kala itu mungkin aku berfikir kamu egois. Bagaimana bisa meninggalkanku hanya karena aku terlalu sibuk menulis. Menjadikan pertengkaran kita sebagai penyulutnya. Tapi kemudian aku menyadari, untuk apa mempertahankan orang yang bahkan berniat ingin pergi.
***
Aku sampai di depan pagar sebuah rumah kost bercat hijau dengan pohon mangga dan belimbing di depannya. Ada beberapa pemuda yang nampak keluar dari sana dan sempat aku tanya tentangmu. Katanya kamu ada di dalam. Aku berdiri di sebuah pintu kayu dengan tempelan stiker di beberapa tempat. Belum sempat aku ketuk pintu itu terbuka. Seorang wanita keluar dari sana dan kamu sempat memberikan kecupan di bibirnya. Aku terpaku. Wanita itu melenggang keluar dan barulah kamu menyadari keberadaanku disana. Pipiku seperti terbakar. Tak terasa mataku mulai basah. Aku memalingkan wajahku dan berlalu meninggalkanmu yang hanya mengenakan celana basket saja.
Kamu mengejar dan mencoba menarik tanganku.
“Maaf.. tapi.. kenapa kamu kesini nggak bilang. Aku bisa jemput kamu.”, kamu berkata dengan terengah-engah.
“Menjemputku setelah selesai mengantarkan pulang wanita itu?”, aku menjawab datar.
“Dia itu.. semua ini karena kamu terlalu sibuk. Kamu jauh.. dan..”. Alasan apa pula itu. Menyalahkanku atas ketidakmampuanmu menjaga janji?
“Selamat ulang tahun.”. Aku melepas tanganmu, membiarkan kamu berdiri di lorong kamar-kamar kost dan pergi. Ini pilihanmu, untuk menyerah pada jarak dan rindu. Begitu cepatkah ini berlalu? Bahkan begitu dungunya aku merindukan pelukan padahal sudah ada bekas guratan bibirnya dibibirmu..
***
Sekarang, kamu duduk di meja tempat biasa kita saling menuangkan krim dalam cangkir kopi berdua. Kita memang sama, sama-sama penyuka kopi dengan satu sendok teh gula dan sedikit krim, sama-sama penikmat udara dan view dari meja sudut itu, sayangnya juga sama-sama keras kepala di sebuah pertengkaran terakhir itu.
Aku meraih tas selempangku lalu beranjak pergi. Sempat melemparkan senyum ringan padamu dan wanita yang kamu kencani. Aku bisa tebak apa yang kalian bicarakan setelahnya. Paling topik yang tak jauh dari pertanyaan si wanita “Siapa itu tadi?”. Entah apa jawabanmu aku tak peduli. Meski ada sedikit sesak disini.
“Don Juan.... Padahal baru satu bulan putus dari kamu, udah gandeng cewe baru.”, Tomi berkomentar lirih ketika aku melangkah mendekati kasir. Aku hanya mengangkat pundak tanda tak tahu.
Terus kamu nggak nyari cowo juga?". Tomi masih saja berceloteh sambil mengelap meja.
Buru-buru amat, buat apa?", jawabku santai.
“Ya buat gandengan lah. Dia aja udah move on, kamu masih single aja.”
Aku hanya tertawa kecil. Apa move on harus dengan punya pacar baru? Apa yang belum menemukan pengganti harus dikatakan belum move on? Move on tak selalu harus menemukan seseorang yang baru, tapi setidaknya ingatan yang lama tidak lagi melukaimu.
Memory memang tak bisa memilih mana yang harus ia simpan. Memory hanya mengupayakan mana yang mampu ia ingat. Tapi hati tau mana yang pantas ia lupakan. Seiring langkahku meninggalkan meja ujung lantai satu itu, serpihan-serpihan yang sempat kamu tinggalkan dulu tercecer dibelakang. Biarkan saja. Karena aku pun tak ingin memungutnya. Dan aku berdiri di ambang pintu, merasakan angin yang perlahan menari diantara helaian rambutku. Satu langkah lagi aku berlalu. Meninggalkan semua kenangan tentangmu.
Setengah tahun lebih setelahnya. Aku bekerja di Jogja sekarang. Menjadi Program Director salah satu radio swasta di Kota Gudeg. Hingga suatu sore aku kembali ingin menikmati robusta hangat. Aku mampir ke kafe tempat Tomi bekerja dan ingin menyerahkan sesuatu padanya.
Tomi sudah diangkat menjadi Manager di Kafe ini. Kabarnya dia dekat dengan putri kedua pemilik kafe tempat ia bekerja. Wow, berani sekali ia. Ya, ia memang selalu begitu. Keisengan yang berani. Baru beberapa langkah masuk kafe, dari kejauhan terlihat seorang pemuda duduk di meja ujung lantai satu. Kamu lagi. Kali ini seorang diri.
Galau tuh dia.", kata Tomi sedikit berbisik, sambil melirik ke pemuda berhidung mancung di ujung.
Kenapa?”.
Putus, sekitar sebulan lalu ribut di sini. Akhir-akhir ini dateng sendiri terus.".
"Ooooh...", jawabku datar.
Lalu aku terdiam. Bukankah beberapa bulan lalu kamu terlihat begitu menang karena sudah mendapatkan wanita cantik itu. Sayangnya kafe ini sedang penuh. Hanya ada beberapa meja kosong di deretan dekat dinding dan itu tak jauh dari tempatmu duduk. Lalu aku melenggang melewati mejamu.
Hey.", sapamu.
Oh hay." Aku menoleh.
"Mau gabung?" Kamu nenunjuk kursi di depanmu.
Beberapa detik kemudian aku mengangguk. "Boleh". Aku duduk. Posisi yang sama, di meja yang sama, dalam status yang berbeda.
“Sibuk apa sekarang?”, kamu membuka perbincangan.
“Editor surat kabar di Jogja, sama sesekali promo novel.”. Aku mengaduk kopi di depanku.
“Yah, itu memang impianmu kan?”, katamu.
Aku tersenyum. Masih ingat juga ternyata. Tepat setelah kamu memutuskan pergi, aku belajar untuk tidak pernah bersandar pada seseorang. Karena ketika orang itu tak lagi menyediakan pundaknya, itu akan lebih menyakitkan daripada sedihmu sebelumnya. Aku habiskan waktuku dengan cerita-cerita fiksi yang tidak pernah mengkhianati penulisnya. Cerita-cerita fiksi yang membuatku sadar bukan kamu yang pantas untuk menemaniku menggapai mimpi.
Setelah beberapa obrolan tentang pekerjaan, kamu melempar beberapa candaan yang mencairkan suasana kaku diantara kita.
Lalu hening.....
Kamu bernostalgia tentang hal-hal yang sering kita lakukan ketika bersama. Termasuk tentang meja ujung lantai satu ini.
Hening lagi....
"Pacarmu kok nggak ikut.", aku mendahului.
"Hmm... udah putus."
Kemudian hening lagi.....
"Pacarmu?", tanyamu menggantung.
Lalu aku membuka tasku, mengambil sebuah benda berwarna merah hati dengan pita berwarna emas.
"O ya kebetulan ketemu disini. Ini. Minggu depan. Dateng ya."
Undangan pernikahan kutaruh manis di atas meja ujung itu.

***

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Taraa.. This is Tribal Trends

“Sist, aku mau crop tribalnya ya. Ready kapan?”             Yang gila fashion pasti tau dong motif tribal. Motif tribal lagi happening nih. Para desainer juga lagi berlomba-lomba buat menciptakan busana dengan motif tribal. Mulai dari sekadar kaus, rok, blazer, tas, turban, wedges, sampai garskin! Tapi tau nggak sih gimana asal- usul si tribal ini? Penasaran? Let see… Tribal dalam arti kata bahasa inggris artinya kesukuan. So, tribal mencerminkan tentang motif kesukuan seperti gambar rusa, pohon, dll. Hampir mirip sama Indian style tapi bedanya Tribal lebih menonjolkan corak garis garis yang sejajar dan lebih bermacam warna. Sedangkan Indian Style cenderung berwarna gelap dan cokelat. Nah, karena tribal merupakan motif kesukuan berarti motif-motif khas daerah di Indonesia juga bisa dikategorikan sebagai motif tribal. Motif tribal ala Indonesia juga banyak banget. Ada corak suku dayak, tenun ikat, tenun todo