“Ya Tuhan, tugas ini benar-benar membuatku gila.”. Ivy
mengacak-acak rambut yang memang sudah berantakan di kepalanya. Kedipan kursos
di layar seperti melumpuhkan kerja otaknya beberapa saat. Dua puluh menit diam
lalu dia bangkit dan meraih kunci motor di atas meja. Tanpa menghirukan ponsel,
Ivy meraih selembar uang lima puluh ribuan dari dalam dompet cokelatnya. Dia sisipkan
uang itu ke dalam saku celana pendek lalu melenggang keluar. Terdengar langkah
kaki pelan dari dalam rumah. Seorang wanita dengan daster gombrongnya setengah
berteriak,
“Nduk, mau kemana?”, namun tertelan oleh deru motor Ivy yang sudah hampir hilang di ujung tikungan.
“Nduk, mau kemana?”, namun tertelan oleh deru motor Ivy yang sudah hampir hilang di ujung tikungan.
Ivy anak jalanan. Bukan. Dia tidak tinggal atau hidup di
jalanan. Melainkan dia suka menghabiskan waktu di jalanan. Mengendarai motornya
berkeliling kota sendirian. Menikmati angin dan hanya membawa selembar uang di
kantong celana.
Matahari sudah dari dua jam yang lalu kembali ke
peraduannya. Ivy baru saja memasuki pekarangan rumah. Dengan membawa kantong
plastik berisi siomay, dia masuk tanpa membuka suara.
“Darimana saja to, nduk?”, wanita berdaster itu berbicara
tanpa melepas pandangan dari gerakan jarum rajut.
“Cuma jajan buk. Ivy mau mandi terus lanjut ngerjain tugas.”
“Mbok ya pamit to. HP juga nggak dibawa. Yowes, makan sik
sana.”. Sesekali dia benarkan letak kacamata yang menggantung di hidung
mancungnya.
“Udah buk.”. Sampai pintu kamar Ivy menelan sosoknya dan tak
keluar hingga pagi berikutnya.
..................
Suatu malam di pertengahan bulan November. Joang duduk di
atas motornya yang terparkir di depan pagar rumah Ivy. Ivy melenggang dan
langsung menyambar di boncengan.
“Maaf telat jemputnya. Tadi ngurus jenazah korban
perampokan.”
“Apa perampokan lagi? Dimana?”, tanya Ivy bergidik ngeri.
“Kasus 4 hari lalu, semua barang dan identitas jenazah raib.
Nggak ada kabar orang hilang juga, jadi ya bingung.”
Ivy terdiam.
Sore yang sepi seperti biasanya. Ivy duduk di kamar sambil
memandangi jejeran foto di atas meja. Matanya hampir basah, lalu tak tahan dan
bangkit dari meja. Terdengar suara motor berhenti di halaman. Ivy keluar dan memakai
helmnya.
“Yuk berangkat.”, kata Joang memutar motornya.
Ivy mengangguk mengiyakan.
“ Eh tadi udah pamit kan?”, tanya Joang melirik ke arah Ivy.
Ivy berbalik dan memandang seorang wanita di kebun depan.
“Mbok, Ivy ke toko buku sebentar.”
“Iya non.”, jawab wanita dengan gagang sapu di tangannya.
Ibu selalu menyuruh Ivy pamit pergi, tapi tidak dengan yang Ibu lakukan saat terakhir kalinya untuk pamit pulang. Ivy yakin, Ibu pasti selalu tau mau kemana Ivy sekarang.
.........................................
Comments
Post a Comment