Aku mencium wajah pucat pasi itu sebelum kafannya dibenahi
dan petinya ditutup. Mataku buram tertutup genangan air yang sekarang sudah
luber di kedua pipi. Tangisku jatuh. Bahkan terlalu deras tanpa suara
sedikitpun. Dadaku sesak. Tuhan, secepat inikah?
..............................
“Ya ampun mas..”. Aku terbangun dari tidur. Benda bulat di dinding
itu masih menunjuk pukul 3 pagi. Baru dua jam aku mencumbu alam mimpi.
Tiba-tiba...
Grrrruuuk..... grrrruukkk
Kehidupan sedang menjahiliku. Ujian konyol rumah tangga yang
hampir membuatku gila. Tiap malam aku digelitik oleh suara dengkurang suamiku. Namun
aku tak pernah berani mengusik. Ya, aku selalu lemah menatap dia yang sedang
tidur dengan wajah polosnya. Kelelahan, mendengkur. Flu, mendengkur. Saking
lelapnya, mendengkur. Bahkan dalam keadaan masih berkeringat seusai kami... ya.. dia pun mendengkur. Entah dengan cara apa aku menghilangkan
dengkurannya. Sampai-sampai aku memilih tidur bersama putriku di sebelah.
Hingga beberapa bulan terakhir ini. Hampir tiap jam aku
terbangun dan berdiam diri menatapnya. Aku mengusap kepalanya yang sudah gundul
dan mengecup keningnya lembut. Suara dengkuran menjengkelkan itu alarmku,yang
sungguh sangat berharga. Untuk memastikan apa suamiku masih tertidur atau benar-benar
beristirahat selamanya saat aku terbangun. Sesederhana itu setelah kanker ganas
menggerogoti tubuhnya.
Comments
Post a Comment