Skip to main content

Suamiku dan Dengkuran Menjengkelkannya


Aku mencium wajah pucat pasi itu sebelum kafannya dibenahi dan petinya ditutup. Mataku buram tertutup genangan air yang sekarang sudah luber di kedua pipi. Tangisku jatuh. Bahkan terlalu deras tanpa suara sedikitpun. Dadaku sesak. Tuhan, secepat inikah?


..............................


“Ya ampun mas..”. Aku terbangun dari tidur. Benda bulat di dinding itu masih menunjuk pukul 3 pagi. Baru dua jam aku mencumbu alam mimpi. Tiba-tiba...


Grrrruuuk..... grrrruukkk


Kehidupan sedang menjahiliku. Ujian konyol rumah tangga yang hampir membuatku gila. Tiap malam aku digelitik oleh suara dengkurang suamiku. Namun aku tak pernah berani mengusik. Ya, aku selalu lemah menatap dia yang sedang tidur dengan wajah polosnya. Kelelahan, mendengkur. Flu, mendengkur. Saking lelapnya, mendengkur. Bahkan dalam keadaan masih berkeringat seusai kami... ya.. dia pun mendengkur. Entah dengan cara apa aku menghilangkan dengkurannya. Sampai-sampai aku memilih tidur bersama putriku di sebelah.  


Hingga beberapa bulan terakhir ini. Hampir tiap jam aku terbangun dan berdiam diri menatapnya. Aku mengusap kepalanya yang sudah gundul dan mengecup keningnya lembut. Suara dengkuran menjengkelkan itu alarmku,yang sungguh sangat berharga. Untuk memastikan apa suamiku masih tertidur atau benar-benar beristirahat selamanya saat aku terbangun. Sesederhana itu setelah kanker ganas menggerogoti tubuhnya.

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan...