Skip to main content

Bengawan Sore #6


“Dek, aku pamit ya.”, ucap Mas Dika sebelum kami sama-sama meninggalkan kamar hotel. Dia menatapku dalam.

Aku hanya diam. Bias-bias lampu kamar terlihat mulai kabur tertutupi genangan air di sudut mataku. Kelopaknya tak kuasa lagi membendung hingga butir-butir tangis jatuh bebas tanpa bisa aku tahan. Aku mendekap Mas Dika Erat. Rasanya sama saat kamu hendak pergi dulu, Mas. Apa harus aku melepasmu lagi? Apa bisa aku membuatmu bertahan kalau kamu saja sudah yakin untuk pergi? 


“Wes to, jangan nangis terus. Nanti matanya bengkak, jelek lho.”. Mas Dika mengusap pipiku perlahan. Dia tersenyum tulus tanpa melepas genggaman jemarinya dari tanganku.


Diantara pelukan terakhir itu, aku menghembuskan nafas panjang. Berharap apa yang kurasa terlalu berat untuk dijalani bisa memuai bersama udara malam yang mulai dingin. Berakhir pada satu kecupan hangat dan kami pun melangkah keluar.


Malam berikutnya. Aku menatap kosong langit-langit kamar. Suara guyuran air terdengar dari kamar mandi. Tak berapa lama Mas Gara keluar dengan celana rumahnya. Dia naik ke ranjang dan duduk bersandar. 


“Dek, si Tian kan udah mulai gede. Gimana kalau kita bikin adek buat nemenin dia main?”, tanya Mas Gara.

Aku terkejut mendengar kalimat yang baru saja terlontar darinya.

“Nnng... iya mas.”, jawabku ragu tapi tetap berusaha agar terlihat tenang.

“Aku kemarin periksa ke dokter. Konsultasi ngono lah.”. Mas Gara membenarkan posisi duduknya.

“Terus apa kata dokternya, mas?”.

“Aku yakin kamu sudah tau.”. Jawab Mas Gara singkat lalu berbaring membelakangiku.


Gleeek


Kerongkonganku seperti tercabik hingga terasa begitu susah untuk menelan ludah. Entah apa maksud ucapan Mas Gara. Malam itu, dia sama sekali tak mau menyentuhku. Bahkan membalikkan posisi tidurnya hanya untuk sekedar menatapku saja enggan.

Pertengahan bulan Oktober, setengah tahun lebih setelah keberangkatan Mas Dika. Setengah tahun lebih juga kehidupan rumah tanggaku mulai berubah. Mas Gara mulai sering pulang larut malam. Aku hanya bisa menggangguk saat kutanyakan dan dia menjawab dengan alasan pekerjaan kantor. Sudah dua hari ini Tian sakit panas. Pekerjaan rumahku mulai agak keteteran.


Pyaaaaaarrrr


Tiba-tiba bunyi benturan piring terlempar dengan lantai menggema seisi dapur belakang. Aku bergegas lari  dengan sapu yang usai kugunakan membersihkan halaman. 


“Ono opo to mas?”, tanyaku bingung.

“Kamu seharian di rumah ngapain aja, goblok? Piring kotor banyak. Nggak becus jadi istri.”, ucap Mas Gara penuh amarah.

Didorongnya kepalaku hingga aku tersimpuh ke lantai.

“Tadi ngurusin Tian, Mas. Selesai nyapu halaman baru aku mau cuci piring.”, jawabku pelan.

“Ijik wani semaur? Masih berani ngebantah? Istri macam apa kamu ini.”. Mas Gara menendang perutku. Aku tersungkur dan berlinangan air mata. 

Mas Gara masih mengatakan beberapa makian kemudian berjalan keluar rumah. Tian yang tadinya sedang tidur sampai terbangun dan menghampiri aku di belakang. 


“Buk, ibuk kenapa diam aja lihat bapak kayak begini?”. Tian menghapus airmataku dan memunguti pecahan piring di lantai.


Aku usap kepala Tian dan menatapnya dalam diam.


Le, ibuk bisa apa? Keberanianku sudah lenyap tepat saat pertama kali bapakmu menamparku dengan kerasnya. Itu saat dia tau kamu bukan anak kandungnya. Mungkin keberanianku sudah berserakan, seperti puing-puing pecahan piring di lantai sekarang.

Bersambung ke Bengawan Sore 7

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Barasukma (26)

"Lusa di kedai seberang gerbang, ya?" Mereka sepakat. Seorang perempuan lelah bertukar tanya jawab klise dan rayuan semu sebatas melalui pesan singkat. Tidak perlu menunggu 5 menit untuk kamu diambil lalu dibersihkan, seperti gorengan jatuh sampai dia bilang "Aduh sayang," kan? Komitmennya tak kunjung diberi temu dengan alasan yang tidak mengada-ada tapi selalu diadakan saja. Bisa karena capek kuliah, dikejar deadline laporan, bahkan pesan yang tak terbaca karena bermain game hingga larut malam lalu ketiduran. Bagaimana tidak ragu? Perempuan itu masih duduk ditemani segelas teh dengan jahe yang mengambang. Sengaja tidak dia tinggalkan pesan untuk menguji seberapa janji mereka tidak disepelekan. Sementara si pria asik cekikikan bersama rekan satu kontrakan. Bergemuruh dalam hati mereka niat masing-masing. Tanpa satu menyadari bahwa dia sedang dinanti yang lain. 2 jam berlalu. Perempuan itu tidak menangis. Marah, kesal, namun dia hanya orang