“Dek, aku pamit ya.”, ucap Mas Dika sebelum kami sama-sama
meninggalkan kamar hotel. Dia menatapku dalam.
Aku hanya diam. Bias-bias lampu kamar terlihat mulai kabur tertutupi genangan air di sudut mataku. Kelopaknya tak kuasa lagi membendung hingga butir-butir tangis jatuh bebas tanpa bisa aku tahan. Aku mendekap Mas Dika Erat. Rasanya sama saat kamu hendak pergi dulu, Mas. Apa harus aku melepasmu lagi? Apa bisa aku membuatmu bertahan kalau kamu saja sudah yakin untuk pergi?
Aku hanya diam. Bias-bias lampu kamar terlihat mulai kabur tertutupi genangan air di sudut mataku. Kelopaknya tak kuasa lagi membendung hingga butir-butir tangis jatuh bebas tanpa bisa aku tahan. Aku mendekap Mas Dika Erat. Rasanya sama saat kamu hendak pergi dulu, Mas. Apa harus aku melepasmu lagi? Apa bisa aku membuatmu bertahan kalau kamu saja sudah yakin untuk pergi?
“Wes to, jangan nangis terus. Nanti matanya bengkak, jelek
lho.”. Mas Dika mengusap pipiku perlahan. Dia tersenyum tulus tanpa melepas
genggaman jemarinya dari tanganku.
Diantara pelukan terakhir itu, aku menghembuskan nafas
panjang. Berharap apa yang kurasa terlalu berat untuk dijalani bisa memuai
bersama udara malam yang mulai dingin. Berakhir pada satu kecupan hangat dan
kami pun melangkah keluar.
Malam berikutnya. Aku menatap kosong langit-langit kamar.
Suara guyuran air terdengar dari kamar mandi. Tak berapa lama Mas Gara keluar
dengan celana rumahnya. Dia naik ke ranjang dan duduk bersandar.
“Dek, si Tian kan udah mulai gede. Gimana kalau kita bikin
adek buat nemenin dia main?”, tanya Mas Gara.
Aku terkejut mendengar kalimat yang baru saja terlontar
darinya.
“Nnng... iya mas.”, jawabku ragu tapi tetap berusaha agar
terlihat tenang.
“Aku kemarin periksa ke dokter. Konsultasi ngono lah.”. Mas
Gara membenarkan posisi duduknya.
“Terus apa kata dokternya, mas?”.
“Aku yakin kamu sudah tau.”. Jawab Mas Gara singkat lalu
berbaring membelakangiku.
Gleeek
Kerongkonganku seperti tercabik hingga terasa begitu susah
untuk menelan ludah. Entah apa maksud ucapan Mas Gara. Malam itu, dia sama
sekali tak mau menyentuhku. Bahkan membalikkan posisi tidurnya hanya untuk
sekedar menatapku saja enggan.
Pertengahan bulan Oktober, setengah tahun lebih setelah
keberangkatan Mas Dika. Setengah tahun lebih juga kehidupan rumah tanggaku
mulai berubah. Mas Gara mulai sering pulang larut malam. Aku hanya bisa
menggangguk saat kutanyakan dan dia menjawab dengan alasan pekerjaan kantor. Sudah
dua hari ini Tian sakit panas. Pekerjaan rumahku mulai agak keteteran.
Pyaaaaaarrrr
Tiba-tiba bunyi benturan piring terlempar dengan lantai
menggema seisi dapur belakang. Aku bergegas lari dengan sapu yang usai kugunakan membersihkan
halaman.
“Ono opo to mas?”, tanyaku bingung.
“Kamu seharian di rumah ngapain aja, goblok? Piring kotor
banyak. Nggak becus jadi istri.”, ucap Mas Gara penuh amarah.
Didorongnya kepalaku hingga aku tersimpuh ke lantai.
“Tadi ngurusin Tian, Mas. Selesai nyapu halaman baru aku mau
cuci piring.”, jawabku pelan.
“Ijik wani semaur? Masih berani ngebantah? Istri macam apa
kamu ini.”. Mas Gara menendang perutku. Aku tersungkur dan berlinangan air
mata.
Mas Gara masih mengatakan beberapa makian kemudian berjalan
keluar rumah. Tian yang tadinya sedang tidur sampai terbangun dan menghampiri
aku di belakang.
“Buk, ibuk kenapa diam aja lihat bapak kayak begini?”. Tian
menghapus airmataku dan memunguti pecahan piring di lantai.
Aku usap kepala Tian dan menatapnya dalam diam.
Le, ibuk bisa apa? Keberanianku sudah lenyap tepat saat
pertama kali bapakmu menamparku dengan kerasnya. Itu saat dia tau kamu bukan
anak kandungnya. Mungkin keberanianku sudah berserakan, seperti puing-puing
pecahan piring di lantai sekarang.
Bersambung ke Bengawan Sore 7
Bersambung ke Bengawan Sore 7
Endingnya kok antiklimaks, ya?
ReplyDeleteceritanya masih lanjut mas, ini belum ending :)
ReplyDeleteAsik.. lanjutne mbak :))
ReplyDeletesudah ada part #8 nya loh mas :)
ReplyDelete