Hening, lalu pukul 19.31 deru mobil terdengar dari
halaman depan. Dari seberang kaca terlihat bapak tua dengan peralatan kerja
yang dia bawa. Begitu dia lenyap masuk rumah, kemudian seisinya hening lagi.
Beruntung malam ini tidak ada amarah dari si bapak. Biasanya lelah membuatnya
mudah tersulut emosi.
Di dalam kamar ujung lantai dua, si sulung sedang menarikan jari diantara tombol-tombol alfabet. Matanya tak lepas dari kursor berkedip di layar menyala. Ada hal yang membuat dia sibuk beberapa bulan ini, yang dia sebut skripsi. Sesekali dia buat gerakan mematahkan kepala atau membenarkan posisi duduknya. Begitu terus, sampai jarum panjang di dinding memutar beberapa kali.
Di dalam kamar ujung lantai dua, si sulung sedang menarikan jari diantara tombol-tombol alfabet. Matanya tak lepas dari kursor berkedip di layar menyala. Ada hal yang membuat dia sibuk beberapa bulan ini, yang dia sebut skripsi. Sesekali dia buat gerakan mematahkan kepala atau membenarkan posisi duduknya. Begitu terus, sampai jarum panjang di dinding memutar beberapa kali.
Dari dalam kamar, keluar seorang
wanita berdaster, berjalan menuju dapur, menyiapkan beberapa piring seisinya,
lalu mempersilahkan si bapak tua makan. Dia kembali menuju kamar melanjutkan
melipat beberapa cucian yang sudah kering dari sore tadi. Sesekali dia usap
kening berkerutnya, sambil menghela nafas diantara pekerjaan rumah yang tak ada
habisnya.
Si bungsu duduk di ruang tengah.
Dia memangku sebuah buku cerita bergambar pendekar dan seorang permaisuri. Dia
tunggu sampai ada yang sadar sudah berjam-jam dia duduk termangu seorang diri.
Nihil, mereka sibuk dengan dunianya masing-masing.
Tiba-tiba seisi rumah gelap
gulita. Listrik padam.
Semua keluar dari
peradabannya dan menuju ruang tengah. Selalu seperti itu, setiap mati lampu. Wanita berdaster membawa dua buah lilin
dan satu korek api. Dia nyalakan satu di ruang tengah, dan satu lagi di dekat kamar
mandi. Bapak tua duduk di sofa, si sulung
tengkurap dengan ponsel di tangannya. Dan si bungsu duduk dengan bukunya.
Lalu terdengar beberapa tawa.
Hening itu pecah juga.
Hampir sejam lilin kecil dan canda
itu membuat hangat seisi ruang tengah. Hingga listrik menyala lagi. Satu per
satu dari mereka bangkit dan kembali ke rutinitasnya.
Si bungsu tertunduk dan masih
memegang buku ceritanya yang belum terbaca.
“Apa harus mati lampu setiap
hari? Agar kita seperti keluarga lagi”
Lalu tembok-tembok bisu terisak iba
dalam hati.
Comments
Post a Comment