"Mas, bangun. Jam piro iki.". Sirine macam apa itu yang mampu membuat jiwaku yang sedang melayang-layang langsung kembali ke peraduannya. Oh, rupanya suara ibuku. Sudah pukul setengah tujuh pagi. Entah berapa jam bersama perempuan itu, sampai aku dibuatnya menyerah. Mataku berat, tapi cukup dapat melihat celanaku sudah basah. Lalu aku bangkit dan menuju kamar mandi. Menyirami sisa-sisa peluh bekas gulatan tadi malam.
Di kantor sebelum jam makan siang.
Di kantor sebelum jam makan siang.
Ketika melewati lobi, aku melirik ke lekuk wajah perempuan di belakang meja kerjany. Entah menyadari lemparan pandanganku atau memang dia juga ingin menatapku, sedetik kemudian mata kami beradu. Dia tersenyum manis, sangat manis, seperti senyum yang aku lihat dalam cumbuan itu. Aku melangkah mendekat, sembari mengingat isi dompet yang mungkin cukup untuk mengajaknya makan siang bersama. Tinggal beberapa meter, tapi sialnya...
"Ayo kita makan.". Rekan kerjaku mengecup mesra keningnya. Mereka bangkit, melenggang melewatiku dan bergandengan dengan cincin yang sama-sama terpasang di jari manis keduanya.
..................................
"Malam ini, aku tidak akan gampang menyerah.", ucapku sebelum beranjak tidur. Lalu aku terpejam, menyiapkan diri untuk dicumbu oleh perempuan dalam angan. Perempuan yang dulu sempat kumiliki hatinya. Yang kini sudah termiliki raganya. Hey bung, setidaknya aku memiliki istrimu meski hanya sebagai pembasah celanaku tiap malam.
Singkat amat -___-
ReplyDeletenamanya juga fiksi mini :))
Deletecuoootttt, pembasah celana. masuk akal. :))
ReplyDelete