Hallo perempuan-perempuan yang menjinjing tas mahal, melenggang dengan sepatu mengkilap, dan keluar masuk pertokoan. Disini ada aku, dengan daster dan peluh tanpa sanggup mengeluh. Yang setiap nafasnya hanya untuk mengabdi pada suami.
Dini hari tadi, suamiku pulang dengan bau pekat minuman. Mungkin menang tender, atau bertemu kawan lama. Entah hanya kawan, atau beberapa perempuan seperti bisikan beberapa orang. Kalau aku bertanya, tubuhku akan memar setelahnya. Suamiku, nanti, kalau kamu sudah berlalu dari perempuan-perempuan penjaja rayu itu, pulanglah. Ada aku dirumah yang menunggumu dengan mata basah. Apalagi yang bisa kuberi, bukan paras, bukan body berkelas. Hanya rahim yang kujaga sepenuh hati
Untuk setiap makian dan luka tamparan yang masih linu, aku berserah. Karena saat ini, aku belum mampu pergi. Tidak dengan meninggalkan buah hatiku di sini. Namun aku tak punya daya untuk membawanya serta.
Sejak itu aku bekerja. Sejauh yang aku mampu untuk mengisi tabungan,
mulai dari membantu menjahitkan kain dengan upah dua ratus rupiah per
lembarnya, sampai menitipkan jajanan di warung-warung sekitar.
........................
"Dookk... dookk.... doookk."
Tiga kali ketukan palu seperti selaksa lega di seluruh lelahku. Aku mengulurkan tangan pada kamu yang duduk di tengah ruangan.
"Maafkan aku.", katamu dengan mata nanar.
Pada akhirnya seorang pria akan tau apa yang benar-benar dia butuhkan, entah kapan, mungkin di saat yang sudah terlambat untuk memberi pengampunan. Aku hanya tersenyum. Bagaimana bisa aku percaya lisanmu, jika sampai detik ketika hak asuh anak ada di tanganku pun, masih ada guratan bibir wanita itu di bibirmu.
Koperku sudah terisi, sudah waktunya aku pergi
Untuk wanita yang sore tadi menangis di teras rumahku
Yang mengeluhkan penyakit putrinya
Sementara sang suami mencumbui dosa
Comments
Post a Comment