Skip to main content

Koper Tak Berisi

Hallo perempuan-perempuan yang menjinjing tas mahal, melenggang dengan sepatu mengkilap, dan keluar masuk pertokoan. Disini ada aku, dengan daster dan peluh tanpa sanggup mengeluh. Yang setiap nafasnya hanya untuk mengabdi pada suami. 

Dini hari tadi, suamiku pulang dengan bau pekat minuman. Mungkin menang tender, atau bertemu kawan lama. Entah hanya kawan, atau beberapa perempuan seperti bisikan beberapa orang. Kalau aku bertanya, tubuhku akan memar setelahnya. Suamiku, nanti, kalau kamu sudah berlalu dari perempuan-perempuan penjaja rayu itu, pulanglah. Ada aku dirumah yang menunggumu dengan mata basah. Apalagi yang bisa kuberi, bukan paras, bukan body berkelas. Hanya rahim yang kujaga sepenuh hati

Untuk setiap makian dan luka tamparan yang masih linu, aku berserah. Karena saat ini, aku belum mampu pergi. Tidak dengan meninggalkan buah hatiku di sini. Namun aku tak punya daya untuk membawanya serta.

Sejak itu aku bekerja. Sejauh yang aku mampu untuk mengisi tabungan, mulai dari membantu menjahitkan kain dengan upah dua ratus rupiah per lembarnya, sampai menitipkan jajanan di warung-warung sekitar.

........................

"Dookk... dookk.... doookk."

Tiga kali ketukan palu seperti selaksa lega di seluruh lelahku. Aku mengulurkan tangan pada kamu yang duduk di tengah ruangan.

"Maafkan aku.", katamu dengan mata nanar.

Pada akhirnya seorang pria akan tau apa yang benar-benar dia butuhkan, entah kapan, mungkin di saat yang sudah terlambat untuk memberi pengampunan. Aku hanya tersenyum. Bagaimana bisa aku percaya lisanmu, jika sampai detik ketika hak asuh anak ada di tanganku pun, masih ada guratan bibir wanita itu di bibirmu. 
Koperku sudah terisi, sudah waktunya aku pergi

Untuk wanita yang sore tadi menangis di teras rumahku
Yang mengeluhkan penyakit putrinya
Sementara sang suami mencumbui dosa 

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan...