"Nduk, ada apa to sebenarnya? Pulanglah ke rumah suamimu.", kata ibu mengusap pelipisku. Sungguh aku tak tau kemana lagi tempat berlari selain sepasang kaki hangat yang tak pernah lelah menerima keluhku. Aku hanya menghela nafas dan menerawangkan ingatan pada dini hari dua hari lalu. Mas Gara pulang dengan bau pekat minuman keras. Aku tundukkan kepalaku ketika membukakan pintu. Sejak hari dimana Mas Gara mengetahui kebenaran soal Tian, nyaliku seperti ditelannya bulat-bulat. Lalu sering timbul keributan hanya karena ketidak nyamanan sederhana. Mungkin ini wujud kekecewaan Mas Gara terhadapku. Walau begitu dia tak pernah berani menyakiti Tian. Malam itu tidak ada makanan tersisa dirumah. Tamparan keras mendarat di wajahku. Dengan tangis tak terbendung, kugandeng Tian yang setengah sadar dari tidur menuju rumah ibu. Berkali-kali ibu membujukku untuk pulang dan menyelesaikan pertikaian yang tak dia ketahui penyebabnya. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu depan. Mas Gara ...
Kenapa harus berlari jauh kalau terkadang ketenangan kecil justru yang memberi kebahagiaan