Tadinya aku
mau mengeluh. Mengapa mencintaimu demikian melelahkan. Demikian menyakitkan.
Tapi tulisan itu hilang. Tersapu angin yang pelan-pelan menghembuskan rindu
jauh ke pulau seberang.
Mencintaimu seperti
menunggu kapan angin datang. Ketika jarak semakin mempertegas raga dan
waktu mengulur kesempatanku bertemu denganmu. Ada lengang berlinang di ujung
mata, serupa butiran bening embun yang jatuh turun setiap pagi tiba. Berharap
mungkin dapat memeram rindu, tapi menunggu menjadikannya tumbuh beringas dan
tak tahu malu.
Bagian yang aku benci dari rindu adalah menunggu balasan. Paling tidak
untuk paham bahwa aku tidak merasakan ini sendirian. Aku merindukanmu sampai
puisi-puisi itu hampir gila. Mereka kelelahan mendoakan penulisnya yang
kesepian.
Tadinya
aku mau murka. Mengapa merindukanmu demikian membuat uring-uringan. Sampai aku
lupa, dan hanya berakhir pada kata “Kapan pulang?”
Gud
ReplyDelete