Ada sepasang mata teduh di ujung pintu. Dari kelopaknya bergaris-garis lelah menekuk kulit berpeluh. Dia lepas sepatu tanda menunduk. Tangan kanannya bersandar pada rangka pintu sementara tangan kirinya menarik kaos kaki dalam sekali hempasan lalu jatuh.
Ku datangi dia. Ku relakan telingaku digaduhi keluh tentang bagaimana riuh harinya sepanjang pagi hingga sore tadi. Dia selalu enggan aku peluk ketika berkeringat seperti itu. Ku biarkan saja dia melunturkan letih di ruang tamu.
Selepas makan tadi, dia menyandarkan punggung di sofa depan televisi. Lagi, dia selalu enggan pula aku peluk ketika perutnya kekenyangan seperti itu. Ku biarkan saja dia menikmati pertandingan sepak bola dan hembusan asap rokok sendiri.
Dia masih berdiam diri. Tak ku kubiarkan dia tahu sederas apa air mataku sebelum dia pulang tadi, ketika aku membaca buku lama yang hampir saja lenyap dimakan usia. Sampai bersisa jelaga di ujung mata yang belum terhapus sama sekali.
Lalu dia panggil aku. Butuh bermenit-menit sampai aku bisa menjawab setelah dia tanya ada apa.
"Jika bisa memilih, aku ingin tidak pernah tahu."
Dia mengangkat wajahku, menyuruhku menatap matanya yang memohon ampunanku.
"Jika bisa memilih, aku ingin tidak punya masa lalu."
Lalu aku dihujaninya peluk.
Lalu aku diselimutinya cumbu.
Seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, seolah tak pernah ada masa lalu tersisa. Hidupnya hanya saat itu saja. Pikirnya hanya tentang apa yang di hadapannya tanpa menyisakan ruang untuk hal remeh dulu-dulu.
Ia yang menggenggam tanganku dalam lelap tanpa dilepas barang sekejap.
Meski cincin yang melingkar pada jemariku bukan cincin yang pertama kali dia berikan kepada seorang perempuan.
Berjanjilah bahwa hanya kepada rahimku kamu berikan hidup dan berpulang.
Tahun masih panjang sayang, meski baru sepertiga dari yang sudah-sudah terlewatkan.
Ada yang hidup setelah jerih payah kita menghancurkan kenangan dan membangun pondasi awal kisah. Ada yang hidup, sayang. Kelak. Di sini. Di rahimku sebagai buah segala yang sudah kita pertaruhkan.
Ku datangi dia. Ku relakan telingaku digaduhi keluh tentang bagaimana riuh harinya sepanjang pagi hingga sore tadi. Dia selalu enggan aku peluk ketika berkeringat seperti itu. Ku biarkan saja dia melunturkan letih di ruang tamu.
Selepas makan tadi, dia menyandarkan punggung di sofa depan televisi. Lagi, dia selalu enggan pula aku peluk ketika perutnya kekenyangan seperti itu. Ku biarkan saja dia menikmati pertandingan sepak bola dan hembusan asap rokok sendiri.
Dia masih berdiam diri. Tak ku kubiarkan dia tahu sederas apa air mataku sebelum dia pulang tadi, ketika aku membaca buku lama yang hampir saja lenyap dimakan usia. Sampai bersisa jelaga di ujung mata yang belum terhapus sama sekali.
Lalu dia panggil aku. Butuh bermenit-menit sampai aku bisa menjawab setelah dia tanya ada apa.
"Jika bisa memilih, aku ingin tidak pernah tahu."
Dia mengangkat wajahku, menyuruhku menatap matanya yang memohon ampunanku.
"Jika bisa memilih, aku ingin tidak punya masa lalu."
Lalu aku dihujaninya peluk.
Lalu aku diselimutinya cumbu.
Seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, seolah tak pernah ada masa lalu tersisa. Hidupnya hanya saat itu saja. Pikirnya hanya tentang apa yang di hadapannya tanpa menyisakan ruang untuk hal remeh dulu-dulu.
Ia yang menggenggam tanganku dalam lelap tanpa dilepas barang sekejap.
Meski cincin yang melingkar pada jemariku bukan cincin yang pertama kali dia berikan kepada seorang perempuan.
Berjanjilah bahwa hanya kepada rahimku kamu berikan hidup dan berpulang.
Tahun masih panjang sayang, meski baru sepertiga dari yang sudah-sudah terlewatkan.
Ada yang hidup setelah jerih payah kita menghancurkan kenangan dan membangun pondasi awal kisah. Ada yang hidup, sayang. Kelak. Di sini. Di rahimku sebagai buah segala yang sudah kita pertaruhkan.
Comments
Post a Comment