Sayang, apakah kau merasakan bahwa ratusan perempuan yang
pernah merajam dalam benakmu membuat segalanya binasa?
Terkadang aku merasa dulu kita sama-sama batu besar tanpa
rongga. Hingga tiap cerita masa lalu memahat dan menjadikannya serpihan
berserakan. Makin lama, makin terkikis, makin berlubang penuh luka. Apa
yang tersisa dari serpihannya? Ujung runcing yang siap menancap pada
jejak-jejak cerita.
Ketika tanpa sengaja menancap tajam seperti sebuah sengatan
sampai jantung dan pikiran dalam-dalam, kita saling mengutuk seolah mampu
membuatnya utuh lagi.
Harus apa dan bagaimana, sayang?
Atau musti bendera putih yang salah satu dari kita kibarkan
di bawah pepohonan belantara. Sementara satu yang lain tengah sibuk memenggal
cabangnya karena ditinggalkan semena-mena. Pastikan ketika salah satu itu
memutuskan berhenti, tidak akan ada sesal agar tak perlu mengejar satu yang
lain yang terlanjur berjalan sendiri.
Aku lelah, sayang.
Aku lelah menumbalkan mimpi demi perdebatan remeh perihal
masa lalu dan sisa-sisanya.
Kini aku merasa bahwa kamu, lelaki yang pernah menjadi
dalang dari banyak tawa bahagia kita, adalah lelaki yang tanpa jengah
menuntunku selepas tergeletak di pinggir rawa. Memang benar kamu, dengan segenap masa lalu yang memang
sewajarnya diterima apa adanya. Pun dengan aku.
Terima kasih, sayang, untuk menjadi kokoh meski begitu
banyak ditatah luka, untuk mencintaiku dengan segala resiko dan komitmennya
Comments
Post a Comment