Skip to main content

Madri

Kau membawaku berkisah di atas Lembu Nandini. Kadung larung hati terbawa janji-janji. Matahari, ilalang, awan, langit, tanah, hujan, dan kamu yang tak habisnya aku jadikan puisi-puisi.

Tepat saat sajakku jatuh pada sebuah batu, yang tak hancur dierosi tangis sesaji. Batu keras sekeras ego yang memenggal permohonan ampun hati. Kau tahu kan, bahwa jangan pernah menyimpan batu di sakumu ketika berjalan. Seperti halnya jangan menyembunyikan ego dibalik sebuah usaha saling pengertian. Jangan pula kau buang sembarangan. Kau tidak akan tahu kepala siapa yang akan pecah terkena lemparan. Hancurkan saja. Hancurkan dan jadikan serpihan pasir-pasir ringan. Barangkali kau bisa membangun sebuah rumah kokoh dengan pasir yang tertumpuk perlahan-lahan.

Kau Pandu yang disumpah mati. Dan aku takut menjadi mautmu ketika kau lupa diri. Pada sajak yang berhenti, porsiku adalah menjagamu agar tak seperti dulu lagi. Aku terlalu malu memintamu tinggal sementara berulang kali diusir pergi. Sungguh, ketika aku menjadi mautmu, aku lebih memilih mati terlebih dahulu.

Di antara sajak-sajak yang mencoba merayap ke tepi, aku menulis puluhan surat bisu bahwa aku akan datang tanpa kata-kata bualan. Namun kau tidak menjawab satupun. Kau diam, apapun yang sedang dan akan aku lakukan.

"Apa ini sudah berakhir?"

Sajakku sampai pada api, pada amarah menggebumu dan kecewaku yang masih ku coba untuk tidak diratap-ratapi. Aku belajar, bahwa tangisku sederas apapun tidak akan pernah meluluhkan kau yang terlanjur benci, tidak pernah membangun rasa yang kau bilang terlanjur luntur jadi sepi. Aku sudah benar-benar belajar, bahwa terlalu banyak cacatku untuk berdiri di sampingmu lagi, bahwa tiap kau berapi-api, aku akan selalu diusir pergi, bahwa hadirku hanya sebatas petaka kadang kala dan tak seberharga Kunti.

Aku tidak benar-benar pergi. Aku hanya duduk di tempat terakhir kali kau melihatku sebelum mengusir kesekian kali.

Akulah Madri, yang rela dibakar api demi menjemput Pandu yang telah mati

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Perempuan dalam Kamar

"Mas, bangun. Jam piro iki.". Sirine macam apa itu yang mampu membuat jiwaku yang sedang melayang-layang langsung kembali ke peraduannya. Oh, rupanya suara ibuku. Sudah pukul setengah tujuh pagi. Entah berapa jam bersama perempuan itu, sampai aku dibuatnya menyerah. Mataku berat, tapi cukup dapat melihat celanaku sudah basah. Lalu aku bangkit dan menuju kamar mandi. Menyirami sisa-sisa peluh bekas gulatan tadi malam. Di kantor sebelum jam makan siang. Ketika melewati lobi, aku melirik ke lekuk wajah perempuan di belakang meja kerjany. Entah menyadari lemparan pandanganku atau memang dia juga ingin menatapku, sedetik kemudian mata kami beradu. Dia tersenyum manis, sangat manis, seperti senyum yang aku lihat dalam cumbuan itu. Aku melangkah mendekat, sembari mengingat isi dompet yang mungkin cukup untuk mengajaknya makan siang bersama. Tinggal beberapa meter, tapi sialnya... "Ayo kita makan.". Rekan kerjaku mengecup mesra keningnya. Mereka bangkit, melengga...

100 Hari Tanda Orang Mau Meninggal

Innalillahi wa innailaihi rojiun, datang dari Allah dan selalu kembali kepada-Nya, semoga kita selalu menjadi orang-orang yang selalu mengingat-Nya dan beruntung serta saling mengingatkan. Tanda 100 hari mau meninggal…. Ini adalah tanda pertama dari Allah kepada hamba-Nya dan hanya akan disadari oleh mereka yang dikehendaki-Nya. Walau bagaimanapun semua orang Islam akan mendapatkan tanda ini, mereka ada yang sadar dan ada yang tidak. Tanda ini akan berlaku lazimnya sholat Ashar. Seluruh tubuh yaitu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki akan mengalami getaran atau seakan-akan menggigil. Contohnya seperti daging lembu yang baru disembelih dimana jika diperhatikan dengan teliti. Kita akan mendapati daging tersebut seakan-akan bergetar. Tanda ini rasanya lezat dan bagi mereka yang sadar dan berdetik dihati bahwa mungkin ini adalah tanda mati, maka getaran ini akan berhenti dan hilang setelah kita sadar akan kehadiran tanda ini. Bagi mereka yang tidak diberi kesadaran atau merek...