Kau membawaku berkisah di atas Lembu Nandini. Kadung larung hati terbawa janji-janji. Matahari, ilalang, awan, langit, tanah, hujan, dan kamu yang tak habisnya aku jadikan puisi-puisi.
Tepat saat sajakku jatuh pada sebuah batu, yang tak hancur dierosi tangis sesaji. Batu keras sekeras ego yang memenggal permohonan ampun hati. Kau tahu kan, bahwa jangan pernah menyimpan batu di sakumu ketika berjalan. Seperti halnya jangan menyembunyikan ego dibalik sebuah usaha saling pengertian. Jangan pula kau buang sembarangan. Kau tidak akan tahu kepala siapa yang akan pecah terkena lemparan. Hancurkan saja. Hancurkan dan jadikan serpihan pasir-pasir ringan. Barangkali kau bisa membangun sebuah rumah kokoh dengan pasir yang tertumpuk perlahan-lahan.
Kau Pandu yang disumpah mati. Dan aku takut menjadi mautmu ketika kau lupa diri. Pada sajak yang berhenti, porsiku adalah menjagamu agar tak seperti dulu lagi. Aku terlalu malu memintamu tinggal sementara berulang kali diusir pergi. Sungguh, ketika aku menjadi mautmu, aku lebih memilih mati terlebih dahulu.
Di antara sajak-sajak yang mencoba merayap ke tepi, aku menulis puluhan surat bisu bahwa aku akan datang tanpa kata-kata bualan. Namun kau tidak menjawab satupun. Kau diam, apapun yang sedang dan akan aku lakukan.
"Apa ini sudah berakhir?"
Sajakku sampai pada api, pada amarah menggebumu dan kecewaku yang masih ku coba untuk tidak diratap-ratapi. Aku belajar, bahwa tangisku sederas apapun tidak akan pernah meluluhkan kau yang terlanjur benci, tidak pernah membangun rasa yang kau bilang terlanjur luntur jadi sepi. Aku sudah benar-benar belajar, bahwa terlalu banyak cacatku untuk berdiri di sampingmu lagi, bahwa tiap kau berapi-api, aku akan selalu diusir pergi, bahwa hadirku hanya sebatas petaka kadang kala dan tak seberharga Kunti.
Aku tidak benar-benar pergi. Aku hanya duduk di tempat terakhir kali kau melihatku sebelum mengusir kesekian kali.
Akulah Madri, yang rela dibakar api demi menjemput Pandu yang telah mati
Tepat saat sajakku jatuh pada sebuah batu, yang tak hancur dierosi tangis sesaji. Batu keras sekeras ego yang memenggal permohonan ampun hati. Kau tahu kan, bahwa jangan pernah menyimpan batu di sakumu ketika berjalan. Seperti halnya jangan menyembunyikan ego dibalik sebuah usaha saling pengertian. Jangan pula kau buang sembarangan. Kau tidak akan tahu kepala siapa yang akan pecah terkena lemparan. Hancurkan saja. Hancurkan dan jadikan serpihan pasir-pasir ringan. Barangkali kau bisa membangun sebuah rumah kokoh dengan pasir yang tertumpuk perlahan-lahan.
Kau Pandu yang disumpah mati. Dan aku takut menjadi mautmu ketika kau lupa diri. Pada sajak yang berhenti, porsiku adalah menjagamu agar tak seperti dulu lagi. Aku terlalu malu memintamu tinggal sementara berulang kali diusir pergi. Sungguh, ketika aku menjadi mautmu, aku lebih memilih mati terlebih dahulu.
Di antara sajak-sajak yang mencoba merayap ke tepi, aku menulis puluhan surat bisu bahwa aku akan datang tanpa kata-kata bualan. Namun kau tidak menjawab satupun. Kau diam, apapun yang sedang dan akan aku lakukan.
"Apa ini sudah berakhir?"
Sajakku sampai pada api, pada amarah menggebumu dan kecewaku yang masih ku coba untuk tidak diratap-ratapi. Aku belajar, bahwa tangisku sederas apapun tidak akan pernah meluluhkan kau yang terlanjur benci, tidak pernah membangun rasa yang kau bilang terlanjur luntur jadi sepi. Aku sudah benar-benar belajar, bahwa terlalu banyak cacatku untuk berdiri di sampingmu lagi, bahwa tiap kau berapi-api, aku akan selalu diusir pergi, bahwa hadirku hanya sebatas petaka kadang kala dan tak seberharga Kunti.
Aku tidak benar-benar pergi. Aku hanya duduk di tempat terakhir kali kau melihatku sebelum mengusir kesekian kali.
Akulah Madri, yang rela dibakar api demi menjemput Pandu yang telah mati
Comments
Post a Comment