Ketika akan melukis wajahmu semalam,
aku berbincang dengan awan, tentang siapa yang lebih lembut dan lebih halus
mencintamu.
“Turun di mana besok? Perlu aku jemput?” Diantara sambungan telepon inter lokal, rinduku menuntut temu pada pemuda yang beberapa minggu ini membuat rona senja di pipiku.
“Stasiun Baru. Halah nggak usah, nanti merepotkan,” katamu santai.
“Lho, kenapa nggak turun Stasiun Kota? Kan lebih dekat dengan rumahmu,”
“Aku masih ada perlu, malamnya saja kita ketemu.” Keretamu membelah batas propinsi membawamu makin mendekat ke kotaku, kota kelahiranmu.
“Mau ketemu mbak yang itu, ya?” Aku meledek. Tentu kamu tau siapa gadis yang aku maksudkan.
Kamu tertawa ringan. “Sudah jangan bahas dia.”
“Turun di mana besok? Perlu aku jemput?” Diantara sambungan telepon inter lokal, rinduku menuntut temu pada pemuda yang beberapa minggu ini membuat rona senja di pipiku.
“Stasiun Baru. Halah nggak usah, nanti merepotkan,” katamu santai.
“Lho, kenapa nggak turun Stasiun Kota? Kan lebih dekat dengan rumahmu,”
“Aku masih ada perlu, malamnya saja kita ketemu.” Keretamu membelah batas propinsi membawamu makin mendekat ke kotaku, kota kelahiranmu.
“Mau ketemu mbak yang itu, ya?” Aku meledek. Tentu kamu tau siapa gadis yang aku maksudkan.
Kamu tertawa ringan. “Sudah jangan bahas dia.”
Malam itu, kamu duduk di kemudi mobil dan aku di sisi kirimu. Kita berbincang banyak hal dalam larut tawa semalaman. Kemudian dini menjelma pada lelah bersenang-senang. Kamu pulang, setelah sebelumnya mendaratkan kecupan hangat di kening lebarku. Duh, aku menyerah, hati ini sudah kamu buat memerah.
Hari dimana kamu akan kembali ke perantauan, aku mendatangi stasiun keberangkatan tanpa memberitahukanmu terlebih dahulu. Di antara peron jalur tiga, kamu berdiri dengan seorang gadis yang jarinya tak kau biarkan lepas dari genggaman. Gadis yang kau bilang akan pergi darimu dalam beberapa waktu dekat.
Semerta murkaku meledak. Dia berdentum serupa makian dan umpatan. Esok, setelahnya, kelak, semoga redam dan terpendam lapuk loyak seperti tempoyak. Cuma terpisah sepelupuk mata lalu berlalu terlindap cahaya. Duhai bayang pergilah! Tolong enyah agar aku tak tergoda.
Kenapa harus banyak gadis yang kamu dekati jika pada akhirnya hanya satu yang kamu jadikan muara tempat berhenti. Lantas bagaimana dengan gadis lain yang mau tak mau harus menepi dan menutup luka hati sendiri. Terlalu banyak. Ya. Terlalu banyak mereka yang berkata hubungannya akan kandas hanya untuk mencari pelarian diantara kebosanan yang tak jelas.
Kelak, semoga saja kamu menemu tau, seberapa sakit dan ngilu hati dipermainankan oleh cinta yang kamu tunggu. Kamu beranjak menuju keretamu. Aku pulang. Semoga keretamu benar-benar sampai tujuan. Aku tau, jika kereta itu tak berhenti di stasiunku, maka kereta itu bukan untukku.
Nonton online
ReplyDeletehttp://nonton25.blogspot.com