Skip to main content

Bercak Hitam Gaun Putih

Naraya menangis. Dia tepis kedua lenganku yang hendak meraihnya. Dia terisak-isak mencengkeram gaun putih yang kuberikan lalu melemparkannya ke lantai seraya tubuh yang tersungkur tak berdaya.

**********

Gadis itu mengerutkan kedua alis yang melengkung seperti bulan di awal sabit. Purnama penuh anggun bertahta dibekap awan. Cahayanya pecah di semburat wajahnya yang tak lagi ada senyuman.

Gadis itu bernama Naraya, sudah hampir satu tahun dia tak melewati batas pekarangan rumah. Sampai putih tubuh hingga ke siku-siku begitu dia berani memecah cangkang bungkamnya. Sungguh, aku ingin menghapus satu tahun ini kalau mampu. Sebab tiap cinta, sedikit atau banyak akan meminta kembali. Meski cuma berupa senyuman sebagai penanda bahwa "dia cukup bahagia".

Naraya menurunkan kaki ke permukaan sungai. Telapaknya memecah aliran. Tiba-tiba matanya terlempar ke beberapa gadis yang sedang berjalan menyeberang jembatan. Matanya menatap gadis bergaun putih. Diam. Lalu tiba-tiba menangis dan tertunduk lama.

Aku kaku. Selalu saja dibuat kaku tiap ada hujan di kedua pipi gadis itu. Baru aku sadar, ada hal yang belum aku mampu, membuat gadis itu mau mengenakan gaun putih pemberianku dulu.

"Aku kotor," katanya seolah tubuhnya berlumur lumpur tak pantas dibalut putihnya gaun bersih.

"Kudengar dia bunuh diri di sel tadi pagi,” ucap Naraya tanpa menoleh.

Aku tercekat. Ini kalimat panjang yang pertama kali dia ucapkan padaku semenjak kebisuannya.

"Mungkin tak tahan kemaluannya dibalsem.” Naraya menarik ujung bibirnya dan tertawa sinis. Dia bangkit, lalu berjalan pulang.

Aku dibuatnya gagu. Terlalu tak berani untuk membicarakan hal yang membuat gadisku kehilangan rona di wajahnya itu. Perkosaan.

********

Pagi hari seorang gadis membukakan pintu. Dia memakai gaun putih bersih dengan beberapa motif bunga di ujung bawah. Dia gadisku. Dia jatuhkan tubuh dalam pelukanku. Ringan. Seperti hati yang sudah mampu menerima luka lama yang kadung kejadian. Dia iyakan permintaanku mempersuntingnya. Dia tersenyum, seperti rembulan sedang bersolek memapar bedak di sedimen awan. Memang, butuh waktu dan keberanian untuk berdamai dengan luka dan kekecewaan.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan...

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.