Skip to main content

Semalam Bersama Mirrors

Takdir sedang menggelitikiku, saat aku tertawa karena kebetulan tentang kita. Kebetulan yang membuat kita merasa dua orang yang disatukan kesamaan. Lalu menggoda untuk salah satu dari kita tersenyum sendiri saat membaca pesan, atau tersipu ketika mengingat hal menyenangkan.

Malam itu di kafe. Di antara dua cangkir cokelat, kepulan rokok kita beradu. Layaknya tawa renyah malu-malu, dan aku yang kadang tersipu. Kamu lebih manis dari yang aku bayangkan. Bukan rupa, tapi hangat yang mungkin di rongga dadaku saja yang bisa merasa. Bagaimana ini, sepertinya cupid cupid sialan itu sudah berhasil mengenai sasarannya. Aku kalah dari dalam, dari hati yang sudah kamu sapa duluan.
Kamu melangkah ke tengah ruangan. Duduk bersama pemain alat musik dan menghela nafas perlahan. Diantara alunan Mirrors yang kamu lantunkan, ada aku, di meja nomor 16 yang tak kuasa mengalihkan pandangan.
Cause I don't wanna lose you now
I'm lookin' right at the other half of me
The vacancy that sat in my heart
Is a space that now you hold
Show me how to fight for now
And I'll tell you baby, it was easy
Comin' back into you once I figured it out
You were right here all along
...........................................

Diujung salamku, aku terisak. Masih dengan mukena yang kukenakan, sajadah itu sudah basah. Di dinding, terpasang kaku cermin dingin. Ia pantulkan tubuhku yang tersimpuh. Layaknya bayanganku, aku tau kamu disana, yang bisa kulihat, yang bisa kusentuh, tanpa bisa aku miliki sepenuhnya.

Aku raih ponselku, mencoba menata hati untuk membalas pesanmu seolah semua baik-baik saja. Lalu terdiam, menatap foto dengan kalung salib di lehermu.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan...

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.