Ikut aku yuk, kita terbangkan memori ke masa saat
masing-masing dari kita masih berusaha di bawah tiga tahun.
Masih mengenakan kaos dalam dan celana pendek berlarian
kesana-kemari tanpa beban. Tidak akan berhenti hingga ibu mendekat dan langsung
menggendong kita. Ada satu peristiwa yang sebagian anak mungkin mengalaminya,
entah ingat atau tidak.
Ibu mendekat dengan sepiring makanan. Lalu kita berlari.
Ketika sendok berisikan nasi itu mulai mendekat ke wajah kita. Kita membuang
muka. Lalu ibu dengan sabarnya berkata “Ngeeeng pesawatnya mau mendarat”.
Sembari menggerakkan sendok itu layaknya pesawat yang sedang terbang lalu makin
mendekat ke mulut kita. Beberapa dari kita mau membuka mulut untuk menerima ‘pesawat’
itu mendarat. Beberapa juga masih merengek, bergeleng, dan tetap tidak mau
membuka mulut. Haha, aku tertawa kecil mengingat kejadian itu.
Kembali ke 2013
Waktu itu didepanku ada seorang wanita menggendong anak
laki-lakinya. Dengan sepiring nasi abon, dia berusaha menyuapi anaknya. Masih
dengan gerakan yang sama, menirukan pesawat terbang. Anak itu merengek tidak
mau. Lalu seorang laki-laki mendekat ke wanita itu
Laki-laki itu berkata: “Bu, tadi utangnya udah ditagih.
Kalau bisa besok katanya.”
Raut wajah wanita itu berbubah murung. Lalu mereka berdua
terdiam beberapa saat dan si laki-laki kembali masuk ke dalam rumah. Si wanita
kembali menyendokkan nasi abon, menirukan pesawat terbang, dan ya.. anak itu
masih saja tidak mau. Padahal anak itu tinggal membuka mulut dan mengunyah. Tanpa
perlu memikirkan bagaimana sulitnya membeli beras. Tanpa perlu peduli bagaimana
keringat tercurah untuk membayar hutang.
Beberapa detik si wanita menghela nafas, memandang anaknya,
dan terus berusaha menyuapi. Ia hanya ingin anaknya makan, dengan segala
imajinasi pesawat terbang untuk menyuapi, dalam kondisi yang serba kekurangan.
Aku pernah seperti itu. Aku pernah menutup mulutku
rapat-rapat dari ‘pesawat’ itu. Apa kamu pernah melakukan hal demikian? Lebih
tepatnya apa kamu ingat pernah melakukan hal demikian?
Bagaimana bisa kita begitu sulitnya menerima padahal orang
tua kita begitu sulitnya mencari?
Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta
Aku menatap tiket pesawat tujuan Jakarta dipangkuanku. Sudah
bisa naik pesawat sekarang, yang juga tidak akan mendarat di mulut. Beberapa
saat lalu mengunyah onion bread. Sudah bisa makan sendiri juga sekarang, yang
juga tidak perlu begitu egois tidak mau membuka mulut. Ibu menelfon
“Ati-ati lho ya dek. Rasah neko-neko”
Sudah bisa cari uang sendiri sekarang, yang juga tidak boleh
menyepelekan susahnya orang tua dulu.
Ibu, terima kasih. Dengan pesawat-pesawat imajinasi itu.
Sudah begitu berusaha memberi aku gizi sesulit apapun dulu. Hingga aku tumbuh
menjadi seperti sekarang. Berkatmu, berkat pesawat-pesawat itu.
Aku dipaksa coment sama arin..
ReplyDeleteTulisanmu bagus rin,smua ekspresi ada ketika baca it, kadang senyum ringan, tersipu geli mengingat masalalu, kadang haru dan yg paling ak rasakan, aku rindu Ibu dan moment sperti it,.
Sesaat ak mengingat ktika ak msh seorang anak laki2 yg nakal dan cengeng. Kita bisa merengek, ngambeg, marah, dsb.. Tp skrng kita telah bersiap untuk menerima rengekan dr anak2 kita nanti..