Skip to main content

Penunggu Pohon Jambu

Bulu kudukku berdiri saat melewati pohon jambu itu. Jika dilihat sekilas, tak ada yang mengerikan dari pohon yang cukup tinggi dengan batang yang terlihat kokoh itu, tapi para orang tua sering mengingatkan anaknya agar tak berkeliaran di sekitar pohon angker itu. Konon katanya bagi yang berani mengambil atau hanya sekedar memanjat pohon yang dikeramatkan oleh warga sekitar itu, maka mereka akan terkena musibah.


Kupercepat langkah kakiku. Kalau bukan karena tugas Biologiku, aku mungkin harus berpikir dua kali untuk melewati pohon itu. Guru biologiku yang telah menagih kliping ekosistem yang belum kukumpulkan membuatku tergesa-gesa sampai ke rumah Shara untuk menyelesaikannya. Yang lebih parahnya, satu-satunya jalan pintas yang bisa kulalui hanya dengan melewati pohon jambu itu.
“Tadi aku lewat pohon itu.”, kataku begitu sampai di rumah Shara.
“Ha?, maksudnya pohon angker itu?, eh, katanya pohon jambu yang ada di dekat jembatan itu memang ada penunggunya. Jangankan manjat, lewat di dekatnya aja jarang ada orang yang berani.”, ekspresi muka Shara langsung berubah begitu mendengar kata-kataku.
 “Alah, jangan kebanyakan nonton film horor. Aku sering lewat di deket pohon itu, tapi nggak ada apa-apa. Kalau nggak percaya kita buktiin aja besok.”, Giska yang mendengar obrolan kami ikut nimbrung.
Keesokan harinya, terpaksa aku mengikuti kemauan Giska untuk melihat pohon itu. Shara yang penakut tak mau turut serta bersama kami berdua. Begitu sampai di depan pohon jambu itu, aku hanya bisa bersembunyi di balik punggung Giska. Dengan teliti Giska memandangi pohon itu. Tak kuduga, Giska memanjanya. Memang benar, tak ada apapun yang terjadi.
“Buruan naik!”, teriak Giska dari atas pohon. Kuturuti saja apa katanya.
“Cobain, deh.”, Giska memberikan beberapa buah jambu di tangannya. Dengan sedikit ragu- ragu, kugigit buah jambu yang telah masak itu. Sangat mengejutkan, buah jambu itu sungguh enak. Rasanya sangat manis.
Saat sedang asyik makan buah jambu, tiba-tiba sesuatu mengejutkanku.
Tokek…tokek…”, suara tokek yang telah hinggap di sampingku. Aku yang takut dengan binatang melata langsung turun dari pohon. Hampir copot jantungku gara-gara tokek. Giska menyusulku turun dari pohon dan menertawaiku.
 “Hari gini percaya sama hal gituan.”, kata Giska dalam perjalanan pulang..
“Tapi kenapa anak kecil nggak boleh deket-deket pohon itu, ya?”.
“Ibuku pernah bilang, kalau yang punya pohon jambu itu orangnya galak, pelit lagi. Dia takut kalau ada yang nyuri jambunya. Karena anak sekarang suka ngeyel, makanya pemiliknya bikin isu kalau pohon itu angker biar nggak ada yang berani deket-deket sama pohon itu.”, terang Giska.
            “O, jadi gitu. Tadi kita juga nyuri jambu, kalau yang punya tahu gimana?”.
            “Nggak bakal ketahuan. Yang punya udah lama pindah rumah.”, jawab Giska.
            “Kenapa pohon jambunya nggak dibawa sekalian, ya?. Ha…ha…ha, berarti semua tentang penghuni pohon jambu itu bohong, dong?”, tambahku.
            “Nggak semuanya, pohon jambu itu sebenernya emang ada penunggunya.”
            “Ha…serius?, siapa?”, tanyaku penasaran.
            “Tokek.”, jawab Giska meledekku. Segera saja aku mendaratkan cubitan di perutnya.


Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan...

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.