Skip to main content

MUADZIN


Ada kalanya seseorang tidak sanggup menahan airmatanya. Karenanya, biarkan dia mengalir. Tak perlu dipendam, tak perlu disangkal. Menangis bukanlah kalah, menangis bukanlah lemah. Meski hanya meredakan sakit. Meski takkan merubah keadaan. Biarkan dirimu menangis saat kau ingin menangis. Jika kau tahan tangisan, dia akan memakanmu. Menelan habis kebahagiaanmu, tak pernah menyisakan rasa puas dan terbebas.
Keringat nampak bercucuran dari pelipis Rengga. Beberapa kata sempat terucap oleh Rengga, namun tak ada satupun yang dapat dimengerti lawan bicaranya. Sejenak Rengga mencoba mengatur nafasnya yang masih tersengal-sengal.
”Pakdhe, Liana masuk rumah sakit.”.


Kepanikan terlihat dari wajah Pak Karta. Wajah pria dihadapan Rengga itu seketika berubah. Tiba-tiba, sesosok perempuan keluar dari dalam rumah. Berjalan lemah seolah sedang menahan sakit diperutnya.
***
Bak sarapan pagi yang siap terhidang, kembali Liana mendengar makian itu. Liana mengangkat tubuhnya dari atas kasur. Dari balik pintu kamarnya, Liana melihat ibunya tertunduk, sesekali tangan Ibunya menyeka linangan airmata. Tak berapa lama, Pak Karta melintas didepan kamar Liana. Pak Karta masih memakai pakaian yang terakhir kali Liana lihat sebelum ayahnya itu meninggalkan rumah kemarin malam. Tiba-tiba suara bantingan pintu depan menggema seisi rumah.
Perlahan Liana memeluk ibunya. Liana membiarkann ibunya menangis untuk menggambarkan kerapuhan hatinya. Ingin Liana segera manjadi dewasa. Menjadi panutan bagi kedua calon adiknya yang sekarang masih tertidur dalam rahim ibunya. Menjadi tulang punggung keluarga hingga ia mampu menghasilkan rupiahnya sendiri untuk membawa ibunya pergi dari cengkeraman kebringasan.
Tak ada yang menarik dari kehidupannya. Seorang gadis biasa dari kalangan menengah kebawah, apa yang bisa ia banggakan. Kecerdasan tak ambil alih disini. Tak butuh rumus- rumus ikatan antar atom untuk membuat sebuah keluarga bahagia. Jangankan tertawa, seolah ia robot yang didesain mematuhi perintah tuannya. Melontarkan kebenarannya dianggap sebagai pemberontakan.
Liana memandangi sosok ibunya yang terlelap. Entah apa yang ibunya mimpikan saat ini. Sebuah luka memar bekas tanparan terhias dipipi kiri ibunya. Keriput mulai tampak di daerah matanya. Perutnya kini besar. Tinggal menunggu hitungan minggu, adik Liana akan terlahir. Tiba-tiba Liana merasakan sakit dikepalanya. Ada cairan mengalir dari hidung Liana.
”Darah!”
Liana melarikan dirinya ke kamar mandi, menanti tetesan darah itu terhenti.
Mentari tengah bersembunyi di ufuk barat. Sepi, hanya nyanyian burung dan angin yang setia membelai mereka dengan tarian lembut. Rengga masih saja terdiam disebelah Liana. Beberapa menit berlalu tanpa mereka berniat memecahkan keheningan.
”Sudah 12 Tahun aku tak melihatnya menenteng sajadah ke masjid. Wajahnya kering tanpa basuhan air wudhu.”, celoteh Liana lirih.
”Apa kau membencinya?, setelah apa yang ia lakukan terhadap ibumu.”, Rengga bangun dari lamunannya.
”Entahlah, apa dayaku merubahnya menjadi imam keluarga?. Ia telah dibutakan.”
”Sabar, Lin. Mungkin ini ujian agar ia tahu Tuhan menyayanginya.”, Rengga menepuk bahu Liana.
”Yah...aku tak yakin masih bisa menungguinya hingga ia sadar akan kehadiran Tuhan.”.
Tiba- tiba pandangan mata Liana kabur. Darah itu kembali mengalir dari hidungnya. Hingga Liana tak mampu lagi menopang tubuhnya, ia terjatuh dan semuanya, gelap.
***
Rengga terpaku disisi ranjang. Ia masih saja menatap hampa tubuh yang tergolek lemas dihadapannya. Menanti manakala, gadis itu terbangun. Digenggamnya erat tangan mungil yang terhiasi infus itu. Airmata berlinangan di wajah gadis itu. Dipanggilnya nama sosok yang disayanginya, tak ada jawaban. Ia masih koma.
Dilain ruangan, seorang wanita sedang menahan sakit. Berusaha menjalani proses persalinan dengan lancar. Suaminya dengan setia menanti kelahiran anak keduanya.
”Pak Karta, anaknya perempuan, sehat.”
Pria itu diam sejenak. Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Didekatinya dua buah hati yang sedang terbaring disisi istrinya. Tangisan tak mampu ia bendung.
”Apakah aku mampu meng-adzan-i mereka?”, gumam Pak Karta.
“Allahuakbar…allahuakbar…”, dengan lirih, ia kumandangkan adzan di telinga kanan putrinya.
Dan seketika, hening, sunyi, disekeliling Liana hanya nampak latar putih seperti sebuah aula yang terselimuti oleh kabut tipis. Liana memicingkan matanya mencoba melihat sesosok pria tegap yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Sayup-sayup Liana mendengar sebuah suara mengumandangkan Adzan. Entah darimana asalnya. Liana merasakan pipinya basah, matanya mulai tertutup oleh linangan airmata. Saat kabut itu perlahan mulai hilang, Liana membelalakan matanya. Ia melihat sosok raganya masih terbaring. Beberapa orang berjas putih memenuhi ruangan. Rengga terlihat panik. Dan ketika suara keagungan Tuhan itu terhenti, Liana merasakan tubuhnya ringan, dingin. Pria tegap yang masih setia menunggunya itu menggandeng Liana, menuntunnya menuju sebuah cahaya. Langkah Liana beriringan dengan bunyi biiiiiip panjang yang terdengar dari kamar rawatnya.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan...

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.