Skip to main content

Kenangan Terakhir Buat Kirani

“Ini mbak, kembaliannya.”, ucap penjaga kasir sambil menyerahkan beberapa lembar uang seribuan.
Inginku segera pulang dan mencoba sepatu berwarna putih dengan corak biru yang baru saja kubeli ini. Sudah sejak 2 minggu yang lalu aku menginginkan sepatu ini. Namun baru sekarang aku bisa membelinya dengan merelakan uang jajanku satu bulan ini.


Begitu turun dari angkutan umum yang membawaku meyusuri jalanan di kotaku, kujinjing sepatu ini sambil melewati tepian sungai kecil dibelakang kampung kami. Perlahan kubuka plastik yang masih membungkus sepatu warior itu. Tanpa sengaja, genangan air sisa hujan tadi pagi membuatku terpeleset dan naasnya sepatuku tercebur kedalam sungai. Arus sungai yang cukup deras itu membawa sepatuku hanyut hingga tersangkut disebuah ranting pohon.
Saat aku hendak mengambilnya, seorang nenek memungutnya. Nenek itu kemudian berlalu pergi sambil menjinjing sebelah sepatuku. Berniat ingin memintanya, akupun mengikuti langkah nenek itu.
Dari kejauhan, kulihat nenek itu berhenti disebuah gubuk kecil. Tiba-tiba seorang gadis seumuran denganku berjalan tertatih-tatih dan keluar dari gubuk itu menyambut kedatangan sang nenek.
Nduk, tadi nenek dapat sepatu di sungai, tapi cuma sebelah, ini buat kamu. Disimpan!, besok nenek carikan lagi yang sebelahnya”. Mendengar ucapan nenek itu, gadis kecil itu tersenyum girang sambil memeluk sebelah sepatuku yang hanyut tadi. Yang kulihat gadis itu tidak bisa bicara dan tingkah lakunya pun tak seperti anak normal pada umumnya. Dengan langkah sedikit kecewa, aku memutuskan untuk pulang kerumah.
Keesokan harinya, seusai makan siang, aku langsung melesat menuju rumah nenek yang kemarin memungut sepatuku. Sesampainya disana, kutunggui nenek itu didepan pintu gubuknya yang terbuat dari anyaman bambu. Tak lama setelah kuucap salam, seorang gadis menemuiku. Dengan sedikit tergagap-gagap, gadis itu mengatakan sesuatu yang tak kumengerti maksudnya.
“Saya kesini mau minta sepatu yang kemarin dibawa oleh nenekmu, itu sepatu saya yang hanyut disungai.”, terangku pada gadis itu dengan menggunakan gerakan tangan agar gadis itu mengerti. Kutunjukkan sebelah sepatu yang masih ada ditanganku. Kulihat badis itu hanya menunduk dan diam.
Sesaat kemudian, gadis itu masuk ke dalam gubuknya. Kutunggui gadis itu namun ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Kupikir gadis itu tak ingin mengembalikan sepatuku. Saat melangkahkan kaki pulang, gadis itu meneriakiku. Aku berbalik dan menghampirinya. Gadis itu menyerahkan sepatu yang kuminta padaku. Kutatap wajahnya, ada sedikit kekecewaan dan air mata disudut matanya. Dari dalam gubuk, neneknya keluar dan menenangkannya.
Pikiran tentang gadis itu terus saja membayangiku. Setiap kali melewati gubuknya, kulihat ia selalu tampak sedih dan tak jarang pula ia menangis.
Malam ini, aku kembali menuju rumah gadis itu. Tak lupa kubawa sepasang sepatu putihku yang sempat hanyut waktu itu. Setelah bertemu gadis itu, kuserahkan sepatu itu padanya. Ia menatapku heran namun tak mengeluarkan sepatah kata pun.
“Ini buat kamu, aku bisa membelinya lagi lain kali. Disimpan ya!”, kataku sebelum meninggalkan gadis itu dengan lambaian tangannya sekaligus ucapan perpisahan terakhirnya.
***
Sepulang dari rumah Laras, temanku, aku melewati tempat pemakaman umum yang membatasi kampungku dengan kampung Laras. Kutengok ke kiri dan kananku. Orang-orang berbaju hitam berjalan beriringan seperti usai menghadiri upacara pemakaman. Ternyata benar, baru saja ada orang dimakamkan disini.
“Siapa yang meninggal, Pak?”, tanyaku pada tetanggaku yang kutemui dijalan.
“Cucu nenek Parsi, yang tinggal didekat sungai. Dia seumuran denganmu.”, jawab Pak Bari sebelum berpamitan pulang.
Karena bingung dan penasaran, kuputuskan mendekati tempat orang-orang itu berkerumun. Kulihat nenek yang memungut sepatuku menangis diatas sebuah makam yang masih baru itu.
“Kamu yang waktu itu, kan? Dia menyuruh nenek mengembalikan ini untuk mu” nenek itu menyerahkan sepatu yang telah kuberikan pada cucunya.
Dan saat kulihat makam itu, sebuah balok kayu tertancap diatasnya dan bertuliskan nama Kirani Pertiwi.

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan...

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.