Skip to main content

Jilbab Gundul Hana

“Kacang, air mineral, rokok…rokok…”, suara para pedagang yang saling berebut mencari pembeli. Kenyamanan, keamanan dan keselamatan mungkin sedikit terabaikan jika telah berhamburan dengan keadaan sumpek di atas kereta ekonomi.
Hana menghela nafas begitu menginjakkan kaki di stasiun Balapan. 12 jam dikereta cukup membuat pegal. Ia sengaja memilih perjalanan malam dengan kereta bisnis dari ibukota sehingga tak perlu bergelut dengan para pedagang asongan. Hana cukup berlega hati bisa menghirup udara dengan sirkulasi yang cukup. Padahal tak perlu diragukan, jika ia naik kereta pada jam kerja maka bau keringat seakan membludak menutup fentilasinya.
”Hana......”.


Entah hanya perasaannya saja atau memang ia dengar seseorang memanggil namanya. Suara itu terdengar sayup-sayup, pelan, dan akhirnya lenyap bersama dengkingan kereta.
Tiba-tiba seorang gadis menepuk bahunya. Gadis berjilbab yang membawa sebuah bakul diatas kepalanya.
”Hana, ini aku Alin, kemana saja kau?”. Mereka menyatu dalam tangis kerinduan.
Disebuah ruangan. Sudah lama ia tak ke mengunjungi tempat itu. Setelah kepindahannya, ia jarang menenggelamkan diri dengan buku-buku yang sampai sekarang masih tertata rapi. Ruangan luas itu disulap menjadi kamar sekaligus rumah bagi buku-buku kesayangannya. Alin menuntun Hana menyusuri kembali kenangan masa lalunya, mengambil sebuah buku yang terletak paling ujung dari deretan buku lain.
Pandangannya memindai tiap foto dalam album tebal bersampul biru. Keceriaan sosok-sosok dalam foto itu begitu kentara. Kenangan tahun-tahun terakhir masa sekolah yang masih membekas dalam ingatan. Saat bertebarannya senyum mereka dan dengan bangga memamerkan coretan tanda tangan warna-warni pada baju seragam. Hana senang memandangi potret anak-anak belia yang baru lulus SMA itu. Seorang memandangnya dari kejauhan, tersenyum, seolah tak berani mengusik tawa orang dihadapannya.
“Kau merindukan kami ya?”, sesosok pemuda mendatangi Hana. Rengga, separuh puing yang dulu sempat hilang. Matanya berkaca-kaca.
“Maaf baru datang kemari sekarang. Aku sibuk kerja banting tulang untuk biaya adikku. Kau tahu sendiri bagaimana kehidupan kami setelah kejadian itu”
Hidup Hana tak semudah orang kira. Entah dimana ayahnya sekarang. Terakhir kali Alin ingat ada keributan besar di rumah Hana. Dan keesokan harinya, Hana menangis karena tak ada satupun barang ayahnya tersisa dirumah. Ayahnya tak pernah pulang semenjak peristiwa itu padahal ibunya tengah hamil. Dengar-dengar ayahnya menggandeng wanita muda yang bekerja di salah satu pabrik di kota ini. Menurut kabar, wanita itu hamil dan ayahnya sibuk menanyakan keberadaan dukun aborsi kepada kawan-kawan ayahnya. Ayahnya memang menyayanginya, dulu. Yah... mungkin itu dulu. Dulu sebelum ayahnya tempramental dan sering memukuli ibunya. Dulu sebelum ayahnya merelakan tubuhnya tergerogoti obat-obatan terlarang. Dulu sebelum ayahnya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Dan ibunya berpulang saat mengantarkan adik semata wayangnya lahir kedunia. Yatim piatu, kondisi ekonomi, yang membuat gadis cerdas seperti Hana menggadaikan 12 tahun pendidikannya dengan otak yang cemerlang demi mencari sesuap nasi.
“Jilbabmu? menggundulkan jilbabmu demi rupiah seperti ini?”
“Jika tidak kulakukan, apa aku bisa menghidupi adikku, dengan mempertahankan jilbabku dan hanya menjajakan gorengan di stasiun?”
***
Malam menyelimuti ibukota, Hana segera menyiapkan dirinya. Beberapa kali ia semprotkan minyak wangi ke daerah leher hingga seluruh tubuhnya.
“Honey, yuk berangkat!”. Seseorang tiba-tiba muncul diambang pintu kamar Hana. Make up tebal, lipstik merah menyala, atasaan terbuka, dan rok mini super ketat yang memamerkan setiap lekuk tubuhnya.
”Buruan ntar keburu ditunggu langganan gue!.”, lanjut wanita bernama Rani itu.
”Iya...sabar. Nih gue lagi nyisir rambut.”. Berkali-kali Hana menurunkan rok yang panjangnya hanya satu jengkalan tangan itu. Dengan sepatu hak tinggi mencapai 10 cm mereka berdua menyusuri jalanan kampung yang mulai gelap dan sunyi. Langkah kaki bak pragawati namun lebih terkesan ’pamer’.
Tanpa mereka sadari, dua orang menatap mereka dari kejauhan.
Tiba di tikungan, sebuah mobil silver mengkilap telah menunggui mereka. Seorang pemuda turun dari kursi pengemudi. Menyambut Hana dan Rani dengan pelukan mesra.
”Hey, cantik. Hari ini gue pelanggan pertama lo.”, laki-laki itu mencubit dagu Hana.
Begitu lelaki itu membukakan pintu mobil kedua gadis itu masuk. Mereka menelusuri dunia malam kota metropolitan. Membuka sisi kehidupan lain dari rakyat ditengah carut marut urusan kenegaraan dan penebalan kantong oleh nama-nama yang terkenal di media masa.
Kedua orang yang diujung gang itu terdiam. Sang gadis berjilbab menangis, sementara pria disisinya masih mematung tak percaya.
***
Perlahan angin membelai rambutnya. Wajahnya yang terkena paparan matahari senja nampak begitu mempesona. Tatapannya lurus kedepan seolah menantang mentari yang bersembunyi di ufuk barat. Beberapa saat mereka terdiam dan larut dalam lamunan masing-masing.
“Apa tidak ada pilihan lain selain merelakan keindahanmu demi uang?”, Rengga memecah kesunyian.
“Maksudmu?”
“Kau gunduli jilbabmu dan pamerkan mahkotamu, kau berikan harta yang harusnya dimiliki oleh suamimu kelak untuk pria-pria kotor itu.”, suara Rengga meninggi.
Hana tersentak. Ucapan Rengga seperti sebuah belati yang tepat menusuk di ulu hati Hana. Mukanya seolah tergores dengan cabikan-cabikan hingga ia tak mampu membalas tatapan Rengga.
“Berhentilah, tahukah kau betapa terlukanya aku melihat wanita yang ingin kujadikan ibu dari anak-anakku kelak tenggelam bersama setan-setan itu? biar aku menuntunmu agar kau tak lagi tersungkur, jadilah perhiasanku, hanya untukku seorang, dan gondrongkan kembali jilbabmu.”
Hana tersimpuh.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan...

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.