Rumah kecil itu dipenuhi air mata. “Sejak kecil, aku tak pernah mengenal sosok ayah. Tuhan telah mengambil ibu dan hanya menyediakan waktu sembilan tahun untukku. Dan sekarang mbak mengijinkanku diasuh oleh mereka?”, Kirana menangis. “Mbak, kita yatim. Semestinya tak ada yang lebih penting darikebersamaan.” “Justru itu. Semua demi kamu. Kau bisa sekolah, dapat kehidupan yang lebih layak, dan ndak sakit-sakitan seperti dulu.” “Kiran, sejauh apapun Tuhan menguji kita dengan perpisahan, kelak pada akhirnya kematian yang lebih jauh memisahkan.”. Laras mengusap kepala adiknya yang masih belum bisa meredakan amarah. “Maafin mbak, Kiran. Mbak, hanya ingin kamu bahagia.” “Bahagia?, bahagia menurut versi mbak!”, Kirana membanting pintu kamar dan berlari keluar. Dijinjingnya tas hitam yang terisi penuh dengan pakaian. *** Seorang gadis mengetuk pintu kamar Vian. Tak ada jawaban. Didengarnya gemericik air dari kran kamar mandi. Gadis itu memutar gagang pintu. Begitu terkejutnya ia...
Kenapa harus berlari jauh kalau terkadang ketenangan kecil justru yang memberi kebahagiaan