Skip to main content

Sebelah Sayapku

Rumah kecil itu dipenuhi air mata.

“Sejak kecil, aku tak pernah mengenal sosok ayah. Tuhan telah mengambil ibu dan hanya menyediakan waktu sembilan tahun untukku. Dan sekarang mbak mengijinkanku diasuh oleh mereka?”, Kirana menangis. “Mbak, kita yatim. Semestinya tak ada yang lebih penting darikebersamaan.”


“Justru itu. Semua demi kamu. Kau bisa sekolah, dapat kehidupan yang lebih layak, dan ndak sakit-sakitan seperti dulu.”
 “Kiran, sejauh apapun Tuhan menguji kita dengan perpisahan, kelak pada akhirnya kematian yang lebih jauh memisahkan.”. Laras mengusap kepala adiknya yang masih belum bisa meredakan amarah.
 “Maafin mbak, Kiran. Mbak, hanya ingin kamu bahagia.”
“Bahagia?, bahagia menurut versi mbak!”, Kirana membanting pintu kamar dan berlari keluar. Dijinjingnya tas hitam yang terisi penuh dengan pakaian.
***
Seorang gadis mengetuk pintu kamar Vian. Tak ada jawaban. Didengarnya gemericik air dari kran kamar mandi. Gadis itu memutar gagang pintu. Begitu terkejutnya ia saat pintu terbuka. Dilihatnya punggung seorang gadis tanpa busana tengah terbaring diatas tempat tidur. Tak lama, seorang pemuda keluar dari kamar mandi. Berbalutkan handuk, pemuda itu tak kalah terkejutnya.
            Gadis itu geram. ”Sori, gue ganggu acara bangun tidur kalian.”. Ia berlari keluar kamar.
            ”Laras... gue bisa jelasin, maafin gue. Laras tunggu......”. Pemuda itu berusaha mengejar Laras. Tanpa menoleh ke belakang, Laras terus saja berlari. Matanya berkaca-kaca.
Samar-samar, Kirana mendengar teriakan dan terbangun dari tidurnya. Ia berada di sebuah kamar tidur yang cukup luas. Ia sibakkan selimut yang menutupi tubuhnya. Didapatinya tubuhnya telah tak terbalut satu helai benang pun. Seorang pemuda masuk dengan wajah bimbang.
”Kenapa bebh?”, tanya Kirana seraya memeluk pemuda itu.
”Nggak ada apa-apa.”
Untunglah Jakarta tak terlalu padat hari ini. Laras masih bisa berlega hati untuk tak bergelut dengan kemacetan ibu kota.
            ”Pak, tolong nyalain radionya!”, ucap Laras pada sopir taksi di depannya. Beberapa saat supir taksi itu mencari gelombang radio yang suaranya enak di dengar. Berselang beberapa detik, kemudian mencari gelombang lain kembali. Begitu seterusnya hingga Laras menyuruh supir itu berhenti pada stasiun radio yang memutarkan musik yang disukainya. Setidaknya musik itu mampu menutup volume lirih tangisan Laras.
Vian membuka pintu dengan kasar. Begitu masuk rumah, ia langsung membantingkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu.
”Ada apa sih?”, seorang gadis keluar dari dapur membawa dua gelas minuman kaleng.
Vian merogoh saku jeansnya. Kirana sibuk menghabiskan sodanya. Sementara Vian tengah sibuk dengan ponselnya. Tangan Vian sibuk menekan tombol keypad dengan lincahnya. Sebentar kemudian Vian menempelkan ponsel di telinganya. Beberapa detik ia diam, lalu menggerutu tak karuan. Diulanginya lagi tindakan yang sama.
”Anjrit..”, umpat Vian membuang ponselnya ke atas meja. Kirana memungut ponsel itu. Begitu ia lihat wallpaper yang terpasang pada ponsel itu, Kirana terkejut.
”Siapa cewek itu?”, Kirana sedikit ragu.
”Ya dia itu calon tunangan gue. Namanya Laras”.
”Laras? Tunangan loe?”, Kirana menahan nafasnya sejenak. Dia diam. Bibirnya seolah beku dan jantungnya terhenti seketika. Meski sudah bertahun-tahun, tak mungkin Kirana melupakan wajah gadis dengan mata tajam itu. Vian melihat Kirana dengan heran.
”Pak ke alamat ini, cepet.”, Kirana menyerahkan secarik kertas begitu menutup pintu taksi yang ia tumpangi.
”Baik, non.”, sopir taksi itu mengiyakan dan segera menginjak gas. Ditengah perjalanan, Kirana tak henti-hentinya mencoba menghubungi nomor Laras, namun tak ada hasil.
Sampai di depan rumah yang dituju. Kirana melangkahkan kaki perlahan. Sebuah papan besar bertuliskan terima kost puteri terpasang di dekat pintu masuknya. Kirana memandangi sekitar. Ia lihat seorang ibu sedang menyapu halaman depan rumah kost itu.
”Permisi, bu. Kamar kost Laras yang mana ya?”, Kirana mendekati ibu tadi.
”O...kamar mbak Laras itu, nomor tiga dari ujung.”, ibu itu menunjuk sebuah pintu kamar yang tertutup. ”Tapi mbak Laras baru aja pamit mau ke Solo naik kereta. Kayaknya sih perginya lama, soalnya bawa koper segala, non.”
”Solo?’, gumam Kirana.
Ditengah hiruk-pikuk orang berlalu-lalang di stasiun, pandangan Kirana tertuju pada sosok wanita yang wajah dan perangainya amat ia kenal. Ia ikuti langkah wanita itu.
“Mbak Laras....!”, dicobanya memanggil nama wanita itu. Wanita itu melihat sekelilingnya.
Kirana menjulurkan lehernya mencari sosok tinggi semampai yang ternyata sedang berdiri di seberangnya.  Kirana mencoba menghampiri wanita yang telah memasuki salah satu gerbong kereta itu. Begitu kereta itu berangkat, sosok wanita itu lenyap dari pandangannya beriringan dengan laju mesin kereta.
            Takdir memang terkadang tak dapat diduga, sulit diterka, dan tak mampu di sangka. Meski tempat yang sama, waktu yang sama. Saling mencari, mencoba menemukan, dan sama-sama berharap. Dan takdir jugalah yang mengatur mereka untuk tidak saling bertemu. Agar selalu ada keinginan diantara mereka, agar selalu ada kerinduan mendalam. Sampai suatu saat, takdir memutuskan untuk mempertemukan mereka.
Solo hari ini terasa sangat dingin. Hanya beberapa orang yang nampak berlalu lalang. Hujan deras yang mengguyur tadi sore cukup membuat Laras terkurung di kamarnya. Sebagian jalanan telah tertutupi oleh genangan air yang bisa menggelincirkan ban mobil.
Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu. Mungkin Budhe Darmi menyuruhnya mencicipi resep baru, atau Juang, si kecil yang tinggal disebelah rumah ibu Laras yang ingin memamerkan robot barunya. Tapi mustahil mereka meninggalkan selimut di cuaca seperti ini.
            Perlahan Laras menarik gagang pintu. Sosok gadis itu nampak dengan senyum khasnya. Tak mungkin Laras melupakan sorot mata itu. Perlahan gadis itu mendekatinya. Laras menyambut rengkuhan tangan gadis itu dengan air mata.
            ”Mbak Laras...”, ucap gadis itu lirih.
            Tak ada kata yang mampu ia ucapkan selain bisa merasakan kerinduan yang teramat dalam. Adik kecilnya yang dulu selalu bercanda dengannya. Adik kecilnya yang dulu selalu ia buat menangis hingga ibu memarahinya. Kini ia tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Rambut panjangnya yang tergerai masih berwarna merah seperti saat ia masih kecil. Kulitnya halus dan tercium aroma wangi melati saat Laras memeluknya.
            ”Dari mana kamu tahu mbak ada disini?”, Laras memulai percakapannya. Kirana hanya diam. Terlihat senyum hambar dari wajah Laras. Matanya berkaca-kaca.
            ”Mbak aku ingin ziarah ke makam ayah dan ibu.”
Kirana tersungkur di sisi makam orangtuanya. Berulangkali ia usap kedua batu nisan itu. Laras mendekap Kirana yang masih terisak. Tak kuasa Laras menahan tangisnya. Rasa kehilangan itu tak pernah pergi dari benak mereka hingga saat ini. Masih teringat jelas saat mereka mengantarkan jenazah ibu mereka bertahun-tahun lalu.
            Kirana memegangi perutnya. Hal yang sudah Laras duga saat memeluk Kirana. Perut Kirana sedikit besar. Tubuhnya terlalu gemuk untuk ukuran tubuh idealnya.
            “Kamu mbobot ?, kok nggak ngabarin mbak kalau kamu udah nikah?, suamimu mana, nggak diajak kesini?”, Laras mencoba menutupi kekhawatirannya.
            Tak ada jawaban dari Kirana. Kirana tertunduk, sejurus kemudian ia mulai berkata perlahan.
“Saya pelacur, mbak. Kalaupun saya bilang saya dihamili seorang laki-laki, tidak ada orang yang mau mengakuinya. Mas Vian. tunangan mbak. Aku selingkuhan mas Vian. Maaf mbak, andai aku mengetahui situasi itu sebelumnya”, ia menangis.
Tubuh Laras melemas. Ia terduduk dan tak mampu berkata apa-apa. Kembali ditatapnya adik kecilnya. Jelas itu bukan hal yang dicita-citakan ibunya kepada dua bersaudara itu. Rasa bersalah menggelayutinya. Rasa bersalah sebagai kakak yang tak mampu menjaga adiknya. Rasa bersalah sebagai anak yang tak mampu memenuhi keinginan ibunya.


Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Taraa.. This is Tribal Trends

“Sist, aku mau crop tribalnya ya. Ready kapan?”             Yang gila fashion pasti tau dong motif tribal. Motif tribal lagi happening nih. Para desainer juga lagi berlomba-lomba buat menciptakan busana dengan motif tribal. Mulai dari sekadar kaus, rok, blazer, tas, turban, wedges, sampai garskin! Tapi tau nggak sih gimana asal- usul si tribal ini? Penasaran? Let see… Tribal dalam arti kata bahasa inggris artinya kesukuan. So, tribal mencerminkan tentang motif kesukuan seperti gambar rusa, pohon, dll. Hampir mirip sama Indian style tapi bedanya Tribal lebih menonjolkan corak garis garis yang sejajar dan lebih bermacam warna. Sedangkan Indian Style cenderung berwarna gelap dan cokelat. Nah, karena tribal merupakan motif kesukuan berarti motif-motif khas daerah di Indonesia juga bisa dikategorikan sebagai motif tribal. Motif tribal ala Indonesia juga banyak banget. Ada corak suku dayak, tenun ikat, tenun todo