Skip to main content

Call Me a Daughter

Kalau saja aku tak terlahir karena benihmu
KAU SUDAH KUBUNUH
Kan kutukar tiap tetes airmata BUNDAKU 


Dengan sayatan dagingmu yang tercabik oleh gigitan anjing
Dan akan kusuruh ANJING-ANJING itu untuk tetap mengulitimu sampai kau meminta aku untuk membunuhmu

16 tahun aku tahu betapa tak bermoralnya kelakuanmu
Bahkan aku malu tuk mengakui kalau aku dibesarkan oleh PECUNDANG
Otakmu itu telah tertutupi kotornya materi 
Tak usah kutagih janjimu pada mendiang nenekku
Tak perlu pula kucaci kau dengan hinaan yang dalam sedetik bisa menohok lehermu

Kau tak punya malu
Makin terukir jelas kebencianku akan tingkahmu
LAKI-LAKI itu tak ubahnya penghancur
Lihat saja nanti… 
Yang aku tahu hanya BUNDAKU yang membesarkanku 
BUNDAKU yang selalu menahan airmatanya
BUNDAKUyang selalu memangku dukanya seorang diri

Anggap saja aku ini budak jajahan
Saat ini masih tertunduk pada jejak kaki SANG TERSANGKA
Hingga sudah jadi giliranku
Kubuat kau tersungkur di bawahku
Mungkin memang tak tahu balas budi
Tapi apa pantas kuberterima kasih pada ketidak tulusan

Satu ancamanku 
Kalau kata maaf itu tak jua kau mohonkan
Kubuat semuanya HANCUR
Tak enggan pula aku hancurkan diriku yang selalu kau anggap boneka ambisimu
Tak akan menyesal aku jika harus mati asal kebaikan ada padamu
Tak akan menyesal aku jika harus mati asal kebenaran akan lakumu
Tak akan menyesal aku jika harus mati asal kau kembali pada dirimu
Dirimu yang kuhargai sebagai panutanku
Dirimu yang kuhormati sebagai kepatuhanku
Dirimu yang kusayangi sebagai ……..ku

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Perempuan Yang (Pikirannya masih) Sedang Di Pelukan

"Jika yang suci selalu bening, maka tidak akan pernah ada kopi di antara kita." - Sujiwo Tedjo. Perempuan di depanku memandang kosong menembus kaca yang dibasahi bulir-bulir hujan di luar. Sudah berapa prosa yang di dalamnya terdapat adegan seseorang memandangi jendela? Nyatanya keheningan seolah menitip pesan untuk sepi pada setiap tatapan kosong yang pikirannya sedang dikembarakan. Sepi seperti telah menipuku dengan damai. Padahal aku menangkap jelas bagaimana sulitnya perempuan ini berdamai dengan lukanya sendiri. Tak pernah ada yang benar-benar baru, kan? B ahkan untuk sebuah harapan yang benar-benar tersembunyi pada palung hati sekalipun. Tebuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan yang memang sering tak sesuai keinginan. Tiba-tiba meja di depan kami terasa begitu luas. Sampai aku tak bisa menjangkau perempuan yang sedihnya bisa membuatku kehilangan separuh nyawa agar bangun dari lamunannya. ”Kamu baik-baik saja?” tanyaku...

Barasukma (18)

Ada yang mengapung di dalam mataku. Sesuatu seperti luka. Tapi riaknya terlalu kecil untuk membuatmu sadar bahwa rindu kita telah tercemar. Aku menyimpan semua rapat-rapat. Hanya untuk menunggu waktu yang tepat. Mengirimimu kartu ucapan bergambar darah dengan sebuah tulisan berbunyi 'terlambat'.

Barasukma (27)

Perempuan itu pernah menahan marah. Beberapa orang terhanyut dalam skenario cerita kehidupan pribadinya yang justru mereka buat sendiri. Apa harus menuturkan alasan mengakhiri sebuah hubungan sebelum mulai mengenal pria baru lagi? Dia dihujat. Dia dicaci. Hanya karena dekat dengan pria lalu dengan mudah pergi. Dianggap tukang mempermainkan, tak pernah serius hingga mementingkan perasaan sendiri. Sekali lagi dia hanya menahan marah dengan opini brengsek dari orang-orang yang tidak tahu pasti. Mereka tidak mengerti, seberapa sering dia menangis sesenggukan mendapati riwayat jelajah dari ponsel seorang laki-laki. Bukan perkara seorang selingkuhan atau permainan hati. Melainkan tubuh-tubuh molek dari dalam layar itu dibiarkan tertangkap kamera perekam dengan serangkaian adegan ranjang. Hampir tiap hari dilihat dan mungkin tidak terhitung jari. Perempuan itu masih tak bisa menganalisa logika seorang laki-laki. Bagaimana bisa meliarkan imajinasi pada ratusan video demi kepuasan onan...