Hujan sudah mengguyur sebagian wilayah
Indonesia dengan intensitas sedang sampai lebat. Sudahkah kotamu
diselimuti awan mendung beberapa hari terakhir? Sore itu saya merasakan air
hujan mulai turun dari langit Yogyakarta untuk pertama kalinya. Tidak lebat,
hanya tetes-tetes air yang terlihat dari kaca jendela lantai dua.
“Akhirnya hujan.”
Seorang pria di sebelah saya sedikit menengok ke arah
langit. Beberapa hari ini kami sama-sama penat dengan cuaca
mendung tanpa angin yang membuat kegerahan. Pendingin ruangan di kantor sengaja
diatur sampai suhu paling rendah. Sungguh, panas sekali sampai pria itu selalu
kesal bertanya kapan hujan.
Alangkah lebih baik mengkonsumsi banyak air putih agar
terhindar dari sakit karena pergantian musim. Mungkin beberapa waktu kemudian
hujan lebat akan mengguyur dengan rutin. Selain fisik dan peralatan
bepergian yang wajib disiapkan menjelang musim hujan, ada hati yang harus siap
menerima keadaan.
Ada yang bilang, hujan terbuat dari
1% air dan 99% kenangan.
Mungkin karena kita hanya bisa duduk diam tanpa
bepergian kemana-mana saat hujan. Di saat kita hanya bisa diam di suatu tempat
tanpa kegiatan, maka tidak ada yang bisa dilakukan selain berimajinasi dan
berkhayal. Sayangnya imajinasi paling dekat adalah ingatan tentang seseorang,
bisa di masa lalu atau seseorang yang didambakan.
Hujan. Mari
kita berangan-angan.
Saya teringat kejadian berbulan-bulan lalu di
pertengahan musim hujan. Hampir setiap sore hari Yogyakarta selalu basah walau
hanya sebentar. Saat itu pria yang duduk di sebelah saya ini sedang berdiri di
ambang pintu depan. Wajahnya kesal dan gerak tubuhnya tidak bisa tenang.
“Hujan ini kapan berhenti?!”
umpatnya.
Saat itu kami berdua masih sama-sama karyawan baru
yang mengendarai motor kemana-mana. Mau tidak mau kami harus menunggu hujan
reda. Saya dan dia sedang di depan kantor dan hujan masih turun dengan setia.
“Langitnya terang, ini kayaknya bakal lama.” Saya
menerka seperti orang awam yang selalu mengira hujan akan turun dengan lama
jika langit terang.
“Maaf ya, kalau nanti kemaleman langsung aku anter
pulang aja. Besok kita pergi pas nggak hujan,” katanya merasa bersalah.
Hari itu kami berjanji akan menghabiskan akhir pekan
untuk berjalan-jalan bersama. Sayangnya, cuaca menghalangi moment yang
sementinya ada. Menjelang pukul 8 malam, hujan mulai reda. Pria itu mengantar
saya pulang ke rumah. Tidak ada lagi ajakan pengganti janji hari itu
setelahnya. Saya pun tidak berani untuk menagihnya.
Sampai kemarau datang, tidak ada lagi perbincangan
kami tentang rencana akhir pekan. Pria itu sudah lupa janjinya. Saya sudah menyerah dan dia pun sibuk dengan
kehidupannya. Bukan karena saya mempermainkan, tapi menunggu tidak seasyik yang
kalian bayangkan. Menunggu hujan reda saja bosan, apalagi menunggu kepastian.
Pria itu dan sebagian besar dari kalian pasti pernah
mengumpat tentang hujan deras yang tidak kunjung reda, padahal pernah kau
tunggu-tunggu datangnya. Dasar manusia. Bersyukur memang bukan perkara mudah,
apalagi jika kau harus menerima suatu keadaan yang tidak diharapkan.
Sekarang pria di sebelah saya ini hanya kawan. Pria
yang mensyukuri hujan dan mengumpatnya dalam waktu yang berbeda. Pria yang dulu
saya tunggu tapi sekarang sudah biasa saja. Musim terus berganti, begitu pun
hati manusia.
Comments
Post a Comment